Nasionalisme Ekonomi
PRESIDEN Joko Widodo prihatin terhadap begitu maraknya barang impor. Hingga belanja pemerintah pun dipenuhi barang impor. Bukan hanya barang-barang yang ”rumit”. Melainkan juga barang sepele seperti pulpen, pensil, baju seragam, kursi, dan bangku. Yang tidak hanya bisa diproduksi industri dalam negeri. Tapi, juga bisa diproduksi oleh usaha mikro-kecil.
Penggunaan anggaran negara untuk belanja barang impor itu cukup memprihatinkan. Bukan hanya karena nilainya yang sangat besar. Tapi, karena mengesampingkan hal yang semestinya bisa menjadi trigger pertumbuhan ekonomi. Yang bisa dikendalikan pemerintah.
Nilai belanja pemerintah dan BUMN selama setahun bisa mencapai Rp 1.500-an triliun. Tahun 2022 ini, misalnya. Belanja barang-jasa oleh pemerintah pusat mencapai Rp 526 triliun. Sementara itu, belanja pemerintah daerah Rp 535 triliun dan BUMN Rp 420 triliun. Semua itu bisa dikendalikan pemerintah.
Selama ini belanja pemerintah itu masih didominasi barang impor. Yang multiplier effect-nya bagi ekonomi Indonesia tak terlalu besar. Yang bahan baku, produksi, dan tenaga kerjanya tak dinikmati di dalam negeri.
Dalam kondisi ekonomi pasca-Covid-19 ini, anggaran pemerintahlah yang bisa diandalkan untuk menggerakkan ekonomi. Di saat investasi belum bisa diandalkan. Belanja Rp 1.500-an triliun akan begitu penting untuk menstimulasi ekonomi. Tentunya akan lebih penting lagi jika digunakan untuk membeli barang produksi dalam negeri.
Dalam perekonomian, kita mengenal angka pengganda (multiplier). Yang akan melipatkan nilai ekonomi. Pengeluaran pemerintah tentu punya angka multiplier yang cukup tinggi. Apalagi jika dibelanjakan produk dalam negeri. Produksi akan memerlukan faktor-faktor produksi. Modal, bahan baku, lahan, dan tenaga kerja.
Anggaplah kita belanja barang senilai Rp 1 juta ke toko. Tentunya, toko juga belanja ke subagen, lalu ke agen, distributor, dan ke pabrik. Pabrik pun belanja bahan baku, bayar biaya modal, biaya tenaga kerja, dan sebagainya yang semuanya punya nilai ekonomi. Yang jika penggandanya tiga, berarti menjadi Rp 3 juta.
Maka, bisa dibayangkan jika anggaran pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan anggaran BUMN dibelanjakan produk dalam negeri. Berapa permintaan bahan baku, tenaga kerja, dan modal untuk memproduksi. Dalam berbagai studi, angka multiplier belanja pemerintah bisa mencapai 3 hingga 4. Yang jika belanja pemerintah Rp 1.500 triliun akan menghasilkan pendapatan nasional hingga Rp 6.000 triliun.
Angka multiplier belanja pemerintah bisa tinggi jika digunakan untuk membangun infrastruktur. Yang akan mengerek investasi. Pembangunan jalan tol, misalnya, diharapkan juga memunculkan pabrik-pabrik baru. Yang juga menyerap tenaga kerja baru. Yang nanti juga memicu naiknya konsumsi.
Meski begitu penting, mengajak menggunakan produk dalam negeri ini tidak mudah. Perlu menanamkan nasionalisme yang tinggi. Kata Joan Robinson, ekonom peraih Nobel Ekonomi, yang nature dari ekonomi adalah nasionalisme. Bicara ekonomi harus bicara nasionalisme. Sebab, semua bangsa akan mengedepankan nasionalismenya dalam ekonomi.
Dulu, kolonialisme oleh bangsa-bangsa Eropa tak lepas dari nasionalisme mereka. Yang ingin memakmurkan negara dan rakyatnya. Begitu pun globalisasi yang digaung-gaungkan Eropa dan Amerika Serikat. Semua tak lepas dari keinginan memenangkan mereka dalam persaingan dunia. Untuk kepentingan bangsa dan rakyat mereka.
Setiap negara tentu selalu mengedepankan kepentingan nasional. Karena itu, konsep nasionalisme ekonomi bisa ditemukan di negara mana pun. Bahkan, di AS yang dianggap selalu berorientasi ”pasar bebas”. Slogan ”buy American” atau panggilan untuk mengonsumsi produk-produk AS adalah salah satu contohnya. Great America Again yang digaungkan mantan Presiden Trump adalah bentuk lainnya. Intinya, semua negara ingin melakukan sesuatu untuk kepentingan nasionalnya. Termasuk di bidang ekonomi.
Karena itu, benar saat Presiden Jokowi meminta secara tegas agar belanja pemerintah lebih banyak untuk membeli produk dalam negeri. Apalagi, kualitas produk dalam negeri saat ini tak kalah dengan impor. Kita gunakan barang impor yang memang tak bisa kita produksi sendiri.
Di sisi lain, pemerintah harus men-support industri dalam negeri. Rumitnya birokrasi dan tingginya biaya ekonomi harus dihilangkan. Agar industri dalam negeri bisa memproduksi barang dengan harga murah. Bisa berkompetisi dengan barang-barang impor. (*)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: