Asap Rokok di Gedung Dewan
-Ilustrasi: Reza Alfian Maulana-Harian Disway-
SAYA kaget ketika membaca judul berita yang muncul di awal Juni 2022: Mulai 1 Juni Pemkot Surabaya Terapkan Perwali Kawasan Tanpa Rokok, Pelanggar Siap-Siap Dijatuhi Sanksi. Atau yang ini: Merokok Sembarangan di Surabaya? Ini Tempat dan Besaran Dendanya.
Tiga tahun lalu saya adalah wartawan yang ngepos di DPRD Surabaya. Cuma ngepos di sana. Karena khusus ngepos di dewan, saya ikuti dari awal hingga pengesahan Perda Nomor 2 Tahun 2019 tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR) itu.
Tiga tahun lalu saya juga menulis judul berita serupa. Intinya, gerakan para pengisap rokok bakal dibatasi. Makanya, kini saya kaget ketika muncul berita yang sama. Deja vu.
Kok bisa, perda yang sudah ditetapkan sejak lama baru berlaku tiga tahun kemudian. Rupanya, peraturan wali kota (perwali) yang mengatur pedoman penetapan perda itu baru disahkan 21 November 2021. Pemkot menyosialisasikan Perwali Nomor 110 Tahun 2021 itu selama enam bulan. Dengan demikian, aturan tersebut efektif berlaku per 1 Juni.
Kita melompat ke belakang dulu. Pembahasan perda terkait rokok itu mengalami dinamika yang lumayan panjang. Pada 2016 pansus yang diketuai Ketua Fraksi Demokrat Junaedi mengembalikan draf raperda ke pemkot.
Delapan di antara sebelas anggota pansus menghendaki raperda dikembalikan ke pengusul: Pemkot Surabaya. Mereka menilai Perda Nomor 5 Tahun 2008 tentang Kawasan Tanpa Rokok dan Kawasan Terbatas Merokok belum efektif. Penerapan sanksinya minim. Bahkan, nyaris tidak pernah ada sanksi dengan dasar perda itu.
Pansus tak mau raperda yang mereka bahas hanya jadi ”macan ompong”. Aturannya ”ngeri”, tapi tak bisa diterapkan.
Sekretaris Pansus Raperda KTR adalah istri mantan Wali Kota Surabaya Bambang Dwi Hartono: Dyah Katarina. Dia adalah sosok yang anti-asap rokok. Jika ada Dyah, ruang komisi harus bebas asap rokok.
Lho, boleh merokok di ruang rapat dewan? Penghuni gedung DPRD Surabaya mungkin bisa bantu menjawab.
Ada asbak di setiap ruang komisi. Sampai sekarang pun masih begitu. Cuma di komisi D yang masih steril rokok. Sebab, mayoritas anggota komisi D saat ini adalah perempuan. Mereka tidak merokok. Dyah Katarina juga ada di komisi itu.
Dulu pernah ada ruang khusus merokok di DPRD Surabaya. Kalau tidak salah jumlahnya empat. Ada dua ruangan di lantai dasar. Ditempatkan di dekat pintu masuk utama dan dekat pintu belakang. Di lantai 2, ruangan ditempatkan di area yang kini jadi musala. Satu lagi di dekat tangga menuju ruang paripurna di lantai 3.
Beberapa orang menyebutnya akuarium. Dindingnya terbuat dari mika tebal. Pintunya harus selalu ditutup agar asap tidak menyebar ke luar. Asapnya ”mulek” di ruang kecil itu. Akibatnya, banyak yang tak mau memakainya.
Ruangan itu tak bertahan lama. Dindingnya yang rusak bertahun-tahun tidak dibetulkan. Orang-orang yang merokok tidak kerasan di sana. Ruangannya tidak terhubung langsung dengan udara luar.
Ketentuan ruangan khusus merokok ternyata masih masuk di Perwali 110 Tahun 2021 tersebut. Diatur detail di pasal 9 bab V.
Bunyinya, setiap orang dapat merokok di tempat khusus merokok yang disediakan pada tempat kerja, tempat umum, atau tempat lainnya. Ruang khusus merokok itu tidak boleh dibangun di sarana kesehatan, tempat ibadah, sarana pendidikan, tempat bermain anak, hingga angkutan umum.
Pada pasal 9 ayat 3 disebutkan bahwa penanggung jawab KTR di tempat kerja, tempat umum, dan tempat lainnya wajib menyediakan tempat khusus merokok.
Ruang khusus merokok harus terhubung langsung dengan udara luar sehingga udara bersirkulasi secara baik. Harus pula terpisah dari ruang utama yang digunakan kegiatan, terdapat tempat pembuangan rokok, serta penyaring udara untuk asap rokok.
Gedung DPRD Surabaya tempat ruang Perda KTR disahkan juga wajib menyediakan tempat itu. Apakah sudah ada? Sepengetahuan saya belum.
Tadi malam, 5 Juni 2022, saya juga bertanya ke salah seorang pejabat di Dinas Perumahan Rakyat Kawasan Permukiman dan Pertanahan (DPRKPP) Surabaya. Katanya, belum ada rencana pembangunan ruang KTR di gedung dewan.
Kaget lagi, dong saya. Seharusnya pemkot dan dewan sudah tahu tentang sanksi bagi kawasan yang tidak menyediakan ruang khusus merokok. Ada denda hingga Rp 50 juta bagi pengelola gedung yang tidak menyediakan ruang khusus merokok itu.
Kasatpol PP Surabaya Eddy Christijanto mengatakan, warga boleh merokok di gedung pemerintahan. Namun, ketentuan ruang khusus merokok itu juga berlaku.
”Kantor pemerintah boleh, tapi mereka harus menyediakan tempat merokok khusus. Bisa di satu ruangan, tapi ada purifier di tempat terbuka. Misalnya, di halaman yang langsung bebas dengan udara luar. Area smoking room di halaman teras. Ada lingkaran merah khusus,” kata Eddy seperti dikutip dari detik.com, Kamis, 2 Juni 2022.
Kantor pemerintah masuk pada klasifikasi tempat umum. Itu disebutkan di pasal 1 ayat 20 Perwali Nomor 110 Tahun 2021. Tempat umum adalah semua tempat tertutup yang dapat diakses masyarakat umum atau tempat yang dapat dimanfaatkan bersama-sama untuk kegiatan masyarakat yang dikelola pemerintah, swasta, atau masyarakat.
Artinya, pemerintah juga wajib menyediakan ruang khusus merokok. Termasuk di kantor BUMD. Karena itulah, saya agak pesimistis penegakan aturan tentang merokok itu bisa bergulir.
Kabarnya, proses sosialisasi diundur sampai 7 Juni. Sebab, belum ada rekening untuk menampung duit denda bagi pelanggar Perda KTR. Perokok yang melanggar didenda Rp 250 ribu. Rekening itu juga menampung yang mencapai Rp 50 juta untuk pengelola gedung yang tidak menyediakan ruang khusus merokok.
Sejauh ini sebenarnya sudah banyak lembaga yang patuh. Misalnya, di Stasiun Gubeng atau Grand City Mal. Ruang merokok mereka sudah sesuai dengan kriteria terpenting yang tercantum pada perda dan perwali: langsung terhubung dengan udara luar.
Namun, yang belum menyediakan ruangan itu jauh lebih banyak. Termasuk gedung DPRD Surabaya.
Pemkot membentuk satgas yang terdiri atas berbagai elemen. Terutama Satpol PP dan Dinas Kesehatan Surabaya. Tantangan utama mereka tentu menegakkan aturan di lingkungan pemkot.
Mungkin tugas pertama mereka adalah menyediakan ruang khusus merokok di DPRD. Agar asbak di ruang komisi bisa ditarik. Selama tidak ada contoh dari pembuat aturan, masyarakat bisa dengan mudah protes jika didenda.
Apakah aturan itu bisa bergulir? Mungkin bisa, mungkin juga sulit. Namun, pada pemerintahan Wali Kota Eri Cahyadi, banyak hal yang sepertinya tidak mungkin terealisasi bisa terwujud.
Contohnya, larangan kantong kresek yang sudah bertahun-tahun dibicarakan. Aturan itu sudah berlaku pada toko modern dan pasar tradisional sejak April 2022. Meski sulit diterapkan di pasar tradisional, setidaknya semua minimarket sudah patuh.
Komunitas Nol Sampah memantau penegakan aturan itu. Mereka membuat grup WhatsApp khusus. Saya ada di dalamnya.
Pekan lalu saya ke salah satu minimarket di Pandegiling. Beli makanan dan minuman dingin yang cukup banyak. Sekitar 10 detik saya terdiam di depan kasir setelah menerima kembalian. Mbak kasir lalu menatap saya dengan tersenyum. ”Maaf Mas, kami enggak menyediakan kantong plastik,” kata mbak kasir, lalu meminta orang di belakang saya maju.
Duh, malunya. Kok bisa lupa. (*)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: