Aspek Agama dalam SDGs

Aspek Agama dalam SDGs

-Ilustrasi: Reza Alfian Maulana-Harian Disway-

INDONESIA kini berlomba-lomba dalam pencapaian sustainable development goals (SDGs). Pembangunan berkelanjutan itu menjadi agenda global yang harus diikuti. Tak ayal, semua pihak diminta mendukungnya. Kementerian, pemerintah daerah, BUMN, bahkan juga universitas. Baik negeri maupun swasta.

 

Ada 17 goals dalam SDGs. Dilengkapi 169 target. Tujuan-tujuan itu harus dicapai dalam rentang 2015–2030. Berarti waktu mencapainya tinggal tersisa separuh, 7,5 tahun. Pemerintah pun sangat gencar mengampanyekan SDGs. Dalam program-program kerja, seminar, hingga ke semua aspek terkait pembangunan.

 

Sebagai sebuah konsep, SDGs luar biasa. Itu bisa dilihat dari tujuan utama terkait pemberantasan kemiskinan dan kelaparan. Juga, upaya mengurangi ketimpangan dalam dan antarnegara, memperbaiki manajemen air dan energi, dan mengatasi perubahan iklim. Semua itu tergambar dalam empat pilar SDGs. Pilar ekonomi, sosial, hukum, dan lingkungan.

 

Secara umum, pilar, target, dan tujuan SDGs juga relevan dengan tujuan pembangunan nasional. Goals-nya luar biasa dalam mencapai kesejahteraan masyarakat. Lihat goals 1–4 dan 10. Tanpa kemiskinan, kelaparan, kesehatan yang baik dan kesejahteraan, pendidikan berkualitas, dan pengurangan kesenjangan. Itu dilengkapi aspek perekonomian: pertumbuhan ekonomi dan pekerjaan layak (8), industri, inovasi, dan infrastruktur (9), dan konsumsi-produksi yang bertanggung jawab.

 

Lainnya terkait penciptaan lingkungan hidup yang baik: air bersih dan sanitasi (6), energi bersih (7), keberlanjutan kota (11), aksi terhadap iklim (13), kehidupan bawah laut (14), kehidupan di darat (15). SDGs dilengkapi dengan goals harmonisasi kehidupan: kesetaraan gender (5), institusi peradilan yang kuat dan kedamaian (16), serta kemitraan untuk mencapai tujuan (17).

 

Bisakah tercapai? Yang jelas, tidak mudah. Goals 1 dan 2 pasti sulit. Angka tingkat kemiskinan kita masih di atas 10 persen. Bahkan, naik gara-gara pandemi korona. Malanutrisi kronis masih di atas angka 35 persen. Begitu pun soal kesehatan yang ada 658 ribuan penderita HIV/AIDS.

 

Hal yang sama ada di bidang pendidikan. Rata-rata lama pendidikan warga Indonesia hanya 7,5 tahun. Artinya, wajib belajar sembilan tahun belum terwujud. Sementara itu, pada aspek lingkungan, deforestasi mencapai 12 persen per tahun. Cukup mengerikan jika tak segera diatasi.

 

Jika dilihat, goals dan target-target dalam SDGs tampak sangat mengagumkan. Itu tampak sangat efektif untuk mencapai tujuan nasional. Masyarakat sejahtera. Terpenuhinya kebutuhan hidup: sandang, pangan, dan papan. Atau kebutuhan primer, sekunder, dan tersier.

 

Namun, kita tak seharusnya menerima dan mempraktikkan SDGs itu apa adanya. Sebab, konsep Barat itu juga punya agenda. Tak berbeda dengan agenda globalisasi yang akhirnya dilanggar sendiri oleh Barat. Terutama Amerika Serikat (AS). Lihat saja bagaimana kebijakan AS yang menekan Tiongkok, Jepang, dan Korea Selatan.

 

Salah satu yang dilewatkan” oleh Barat dalam SDGs adalah aspek agama. Dari 17 goals SDGs, tak ada satu pun yang menyinggung aspek agama atau rohani. Semuanya hanya tujuan-tujuan dunia. Harta dan kekayaan. Padahal, pemenuhan kebutuhan rohani jauh lebih penting. Tidak cukup bagi muslim sekadar memenuhi kebutuhan dunia. Harus ada pemenuhan kebutuhan rohani atau kebutuhan agama.

 

Bagi muslim, sejahtera memang bukan sekadar sejahtera di dunia. Ada kesejahteraan abadi yang perlu disiapkan. Kesejahteraan rohani atau kesejahteraan spiritual yang terlewatkan dalam goals SDGs.

 

Islam memaknai kesejahteraan sebagai al-falah. Kesejahteraan holistik dan seimbang antara material-spiritual, individu-sosial, dan kesejahteraan di kehidupan dunia dan akhirat. Sejahtera dunia dapat diartikan sebagai segala yang memberikan kenikmatan hidup indrawi, baik fisik, intelektual, biologis, maupun material. Sementara itu, kesejahteraan akhirat diartikan sebagai kenikmatan yang akan diperoleh setelah kematian.

 

Sebagai tujuan hidup, dunia dan akhirat merupakan aspek yang tidak bisa dipisahkan. Perilaku manusia di dunia diyakini akan berpengaruh terhadap kesejahteraan di akhirat yang abadi. Informasi mengenai kesejahteraan itu hanya dapat diperoleh dari Tuhan. Yaitu, melalui ajaran yang diwahyukan dalam kitab Tuhan.

 

Secara normatif, untuk mencapai al-falah, setiap muslim harus berserah diri kepada Allah. Sebab, Islam sendiri bermakna penyerahan diri, yakni ketika seseorang menyatakan dirinya muslim, ia telah menyerahkan seluruh kehidupannya kepada Allah subhaanahu wa ta’ala. Sang Pencipta alam dan segala isinya.

 

Dengan fakta itu, sudah saatnya pemerintah menginisiasi goals yang terkait dengan kebahagiaan rohani.  Yang bisa dicarikan indikator untuk mengukurnya. Yang dengan indikator itu  pencapaian goals SDGs akan sekaligus menjadi pemenuhan kebutuhan rohani. Untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Wallahu a’lam. (*)

 

 

*) Dosen ekonomi syariah pada Fakultas Ekonomi dan Bisnis, wakil dekan pada Fakultas Teknologi Maju dan Multidisiplin Universitas Airlangga.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: