Surabaya Tanpa Gerakan

Surabaya Tanpa Gerakan

-Ilustrasi: Reza Alfian Maulana-Harian Disway-

SUDAH lama tak terdengar gerakan di Surabaya. Gerakan yang menginspirasi banyak orang. Yang bisa menjadi tren nasional. Apalagi di dunia kesenian.

Gerakan yang mengubah tata kelola yang lebih baik. Di bidang apa saja. Mulai persoalan kehidupan sehari-hari sampai dengan dunia kreatif. Apalagi, dunia kreatif di bidang kesenian.

Banyak hal gerakan dari Surabaya yang menjadi gerakan nasional. Misalnya, gerakan pengelolaan kebersihan dan sampah berbasis warga yang kini menjadi tren di berbagai daerah.

Gerakan yang pernah menjadi tonggak perubahan nilai terhadap kebersihan dan lingkungan itu dikenal dengan Surabaya Green & Clean. Gerakan tersebut mengubah pola warga dalam pengelolaan sampah.

Di bidang lain juga pernah muncul gerakan di bidang disiplin lalu lintas. Yang dimulai dari Surabaya. Misalnya, gerakan disiplin roda dua untuk jalur kiri dan menyalakan lampu untuk roda dua. Dua gerakan itu juga menjadi kebijakan nasional di kemudian hari.

Yang belum pernah muncul menjadi gerakan ”menggemparkan” adalah gerakan di dunia kesenian. Bahkan, cenderung terjadi kemunduran dalam pengembangan dunia seni di kota ini.

Surabaya memang bukan kota seni. Ibu kota Jawa Timur itu lebih dikenal sebagai kota industri. Empat dekade terakhir lebih bergeser menjadi kota perdagangan.

Namun, dulu banyak lahir seniman dari Surabaya. Yang berkelas nasional. Mulai perupa, musisi, hingga pelawak atau komika. Baik yang besar di sini maupun di ibu kota. Gombloh salah satu yang mulai dan besar di Surabaya.

Dalam hal industri, dulu ada juga yang besar di kota ini. Musica Records, label musik kenamaan, juga punya basis di Surabaya. Nirwana Record banyak memproduksi musik dangdut dan ludruk.

Surabaya juga pernah menjadi salah satu satelit dari kiblat seni rupa di Indonesia. Misalnya, ada Amang Rahman, Mahfoed, Cak Kandar, dan sebagainya. Yayasan Seni Surabaya (YSS) sempat menjadi wadah para seniman kota ini.

Namun, dunia kesenian Surabaya tak  lagi menunjukkan tanda-tanda bangkit. Yang ada justru pengelompokan baru seniman Surabaya. Ada dualisme kepengurusan Dewan Kesenian Surabaya (DKS) di Surabaya.

Melihat fenomena terakhir dunia kesenian di Surabaya ini, ada dua hal yang bisa kita pakai untuk menjelaskan. Pertama, tiadanya ”kepala suku” baru yang bisa menyatukan para seniman di Surabaya. Seseorang yang bisa menjadi pemersatu antarkelompok seniman yang ada.

Potensi konflik antar seniman harus diakui sangat besar. Itu karena seniman berkarya secara personal dengan ”keegoan” yang tinggi. Hanya sedikit kelompok seni yang memiliki kemampuan berkolaborasi dengan lainnya dalam mengembangkan diri.

Yogyakarta lebih beruntung karena dalam suatu masa memiliki kepala suku seniman yang dihormati semua pihak. Namanya almarhum Prof Dr Umar Kayam. Budayawan, akademisi, dan seniman yang produktif dengan tulisan-tulisannya. Banyak novel dan karya yang telah ia terbitkan.

Di luar itu, ia sangat telaten dalam merajut berbagai kelompok seniman dan kelompok lain dalam meningkatkan kualitas karya-karya mereka. Oleh karena itu, rumahnya menjadi rujukan berbagai pihak. Ia tidak hanya menyatukan kelompok-kelompok seniman. Tapi, juga mempertemukan dengan kelompok strategis lainnya.

Umar Kayam sebagai kepala suku bisa mempertemukan kelompok seniman dengan para akademisi dan media dalam satu tujuan. Seniman terus meningkatkan kreativitas berkarya, para akademisi ikut memberikan asupan konsep kepada mereka, dan media ikut membantu memublikasikan karya-karya para seniman.

Hasilnya, sampai sekarang bisa dirasakan. Seniman Yogyakarta jauh lebih kreatif dan menjadi salah satu kiblat dunia kesenian di Indonesia. Apalagi, di kota itu terdapat perguruan tinggi seni Institut Kesenian Indonesia (ISI) yang memproduksi para seniman baru. Dana Keistimewaan Yogyakarta pun ikut mendukung pengembangan seniman di kota tersebut.

Kedua, jika tidak ada ”kepala suku” yang memungkinkan menjadi pemersatu para seniman, pemerintah daerah bisa mengambil peran. Itulah yang diperankan Gubernur DKI Ali Sadikin dalam menggerakkan kesenian di Jakarta pada zamannya. Kepemimpinannya dan komitmennya  kepada dunia kesenian ikut menggerakan kreativitas seniman ibu kota.

Lantas, apa yang bisa dilakukan dalam menggerakkan dunia kesenian Surabaya? Tampaknya, pemerintah daerah perlu turun tangan. Bagaimana mereka bisa menjadi ”kepala suku” bagi kelompok-kelompok kesenian di kota kita tercinta ini. Bukan malah menjadi bagian dari konflik antar-para kelompok seniman.

Ketiga, saatnya menjadikan kesenian sebagai bagian dari pengembangan kualitas pembangunan manusia. Bukan hanya ornamen pelengkap dari pembangunan yang lebih berorientasi kepada pembangunan fisik. Kesenian perlu menjadi arus utama pembangunan manusia.

Namun, tidak adil hanya mengharapkan hadirnya ”kepala suku” dan pemerintah dalam pengembangan kesenian di kota kita. Diperlukan inisiatif-inisiatif baru dari para seniman untuk berkembang. Indikator utamanya tentu karya kreatif yang dihasilkan.

Saatnya kembali menggeliat. (*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: