Demokrasi Dimatikan, Myanmar Tak Layak Jadi Anggota ASEAN
-Ilustrasi: Reza Alfian Maulana-Harian Disway-
SAAT negara anggota ASEAN (Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara) lain sibuk membangun dan mempertahankan kehidupan sosial dan politik yang demokratis, apa yang terjadi di Myanmar sejak awal 2021 hingga hari ini adalah sebuah paradoks. Pemerintah Myanmar, negara anggota ASEAN, kembali berada di bawah kendali junta militer.
Kebebasan berpendapat dan iklim demokrasi yang mewarnai kehidupan masyarakat di Myanmar sejak Partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) memegang kendali pemerintah pada 2015, dan kemudian kembali memenangi pemilihan umum pada 2020, kembali hilang setelah pada Februari 2021 militer melakukan coup d’etat (kudeta).
Tokoh demokrasi Myanmar Aung San Suu Kyi yang juga pemimpin NLD ditahan dan militer menyatakan negara dalam keadaan darurat. Di bawah junta militer, demokrasi dan kebebasan berpendapat di Myanmar pun dimatikan.
Selain mengambil alih kekuasaan pemerintahan secara paksa, kepemimpinan militer hasil kudeta merepresi warga sipil. Laporan dari Amnesti Internasional menyebutkan, sejak kudeta militer pada Februari 2021, pasukan keamanan Myanmar telah membunuh lebih dari seribu orang dan menahan ribuan warga sipil yang menentang kudeta militer.
Tidak berhenti sampai di situ, akibat dari kudeta militer tersebut, puluhan ribu orang harus mengungsi dan itu makin memperbanyak jumlah pengungsi akibat berbagai konflik yang terjadi sebelumnya di Myanmar.
Akses bantuan kemanusiaan bagi para pengungsi juga diblokade militer, kekerasan seksual oleh militer dialami anak-anak dan perempuan, anak-anak juga tidak mendapatkan akses pendidikan, dan puluhan warga sipil dijatuhi hukuman mati tanpa pengadilan (Amnesty International, 2022).
Krisis politik yang terjadi di Myanmar telah berkembang menjadi krisis kemanusiaan. Sebagai negara anggota ASEAN, otoritarianisme junta militer Myanmar tidak sesuai dengan tujuan dan prinsip-prinsip yang harus dilaksanakan dan dijunjung tinggi sebagai negara anggota ASEAN.
Ada dua tujuan yang ingin dicapai anggota ASEAN yang tidak selaras dengan apa yang terjadi di Myanmar saat ini. Pertama, menjamin bahwa rakyat dan negara-negara anggota ASEAN hidup damai dengan dunia secara keseluruhan di lingkungan yang adil, demokratis, dan harmonis. Kedua, memperkuat demokrasi, meningkatkan tata kepemerintahan yang baik dan aturan hukum, dan memajukan serta melindungi hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan fundamental, dengan memperhatikan hak-hak dan kewajiban-kewajiban dari negara-negara anggota ASEAN.
Selain dua tujuan tersebut, Myanmar tidak melaksanakan setidaknya dua prinsip yang harus dilakukan negara anggota ASEAN dalam mencapai tujuannya. Yaitu, pertama, setiap negara anggota ASEAN harus berpegang teguh pada aturan hukum, tata kepemerintahan yang baik, serta prinsip-prinsip demokrasi dan pemerintahan yang konstitusional. Kedua, prinsip menghormati kebebasan fundamental, pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia, serta pemajuan keadilan sosial.
Myanmar adalah jalan mundur bagi proses demokratisasi ASEAN. Ketika negara-negara anggota ASEAN yang lain telah meninggalkan sistem pemerintahan yang otoriter, justru pemerintah Myanmar menggunakan pendekatan yang represif kepada rakyat sendiri.
Bahkan, militer Myanmar sering kali menggunakan instrumen kekerasan untuk membungkam suara kritis dari masyarakat. Di sisi yang lain, di tingkat akar rumput, dengan keragaman etnisitas di Myanmar, potensi konflik horizontal antarkelompok masyarakat rentan untuk terjadi lagi.
Etnis minoritas –seperti muslim Rohingya yang seharusnya mendapatkan rasa aman dari pemerintah– kini menghadapi dua ancaman. Represi dari aparat keamanan dan kelompok etnis mayoritas. Demokrasi di Myanmar tidak hanya mati, tetapi juga telah menyeret negara berpenduduk 54,41 juta jiwa tersebut ke dalam bencana kemanusiaan yang lebih besar.
Apa yang bisa dilakukan ASEAN? Tidak banyak. Menyadari situasi objektif di mana telah terjadi pelanggaran HAM (hak asasi manusia) berat di Myanmar, tidak banyak yang bisa diharapkan dari ASEAN.
Meski memiliki tujuan dalam menciptakan perdamaian dan kehidupan yang demokratis di negara-negara anggotanya, ada dua prinsip yang akan menghalangi ASEAN untuk bisa berbuat banyak kepada Myanmar. Dua prinsip tersebut adalah prinsip untuk tidak campur tangan dalam urusan dalam negeri negara anggota ASEAN dan penghormatan terhadap hak setiap negara anggota untuk menjaga eksistensi nasionalnya bebas dari campur tangan eksternal, subversi, dan paksaan.
Meski Myanmar melakukan pelanggaran HAM berat, baik secara kelembagaan maupun masing-masing, negara anggota ASEAN akan sulit untuk bisa mengkritik dan menekan Myanmar.
Sebab, apa yang terjadi terkait kudeta, penghapusan hak-hak sipil dalam menyampaikan pendapat, hingga pelanggaran HAM berat adalah persoalan domestik Myanmar. Negara anggota ASEAN lain tidak bisa mengintervensi dan wajib menghormati kedaulatan Myanmar sebagai sebuah negara seperti tertuang dalam prinsip-prinsip ASEAN.
ASEAN sebagai organisasi kerja sama regional idealnya bisa menjadi jembatan bagi tercapainya tujuan-tujuan bersama seperti perdamaian dunia, demokratisasi, dan kesejahteraan masyarakat di negara-negara anggota. Pasalnya, dalam berbagai forum pertemuan, isu-isu terkait demokratisasi, perdamaian kawasan, dan penegakan HAM selalu menjadi topik bahasan.
Namun, berbagai diskusi tersebut menjadi sia-sia belaka ketika ada negara anggota yang tidak memiliki komitmen yang sama. Itulah yang dilakukan Myanmar, yang lebih memilih mempertahankan junta militer dengan sistem pemerintahan yang otoriter daripada menjadi sebuah negara yang demokratis sehingga ada ruang partisipasi politik yang besar bagi warga sipil.
Pada akhirnya, Myanmar adalah kerikil dan batu sandungan bagi ASEAN dan sudah seharusnya sembilan pemimpin negara anggota bertemu dan membahas secara khususnya tentang perkembangan situasi politik, keamanan, dan HAM di Myanmar.
Myanmar telah membunyikan lonceng kematian bagi demokrasi dan penegakan HAM. Di sisi lain, ASEAN adalah sebuah organisasi yang memiliki tujuan mulia untuk tercipta kehidupan yang demokratis dan penghormatan yang tinggi terhadap HAM pada negara-negara anggotanya.
Walaupun menghadapi pilihan yang dilematis, pemimpin negara ASEAN harus tegas dan berani mengambil keputusan agar Myanmar dikeluarkan sebagai anggota ASEAN. Setidaknya untuk sementara, hingga demokrasi dan penghormatan terhadap HAM tumbuh kembali di negara itu.
Indonesia harus berani menjadi pelopor untuk mengangkat isu terkait relevansi keanggotaan Myanmar di ASEAN meskipun dengan risiko mengganggu hubungan bilateral antara Indonesia dan Myanmar. (*)
*) Mahasiswa Paramadina Graduate School of Diplomacy
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: