Ancaman Pendapatan Pajak Daerah

Ancaman Pendapatan Pajak Daerah

-Ilustrasi: Reza Alfian Maulana-Harian Disway-

PEMERINTAH DAERAH (pemda) kini lagi galau. Berbagai perubahan aturan mengancam pendapatannya. Beberapa sumber pendapatan asli daerah (PAD) tahun 2023 diperkirakan turun cukup signifikan jika dibandingkan dengan tahun ini.

Ada beberapa perubahan peraturan yang bakal berimplikasi terhadap penurunan pendapatan itu. Di Sidoarjo, misalnya, terkait pajak parkir. Semula, pajak parkir ditetapkan 25 persen. Namun, mulai tahun depan, tarif pajak parkir maksimal hanya 10 persen. Dengan penurunan tarif yang cukup tajam itu, perolehan pajak parkir di Sidoarjo bisa berkurang hingga 60 persen.

Tahun 2022, pajak parkir ditargetkan Rp 14 miliar. Itu meningkat dari tahun 2021 yang hanya Rp 11,78 miliar. Itu sebagai dampak dari penurunan akibat pandemi Covid-19. Tahun 2018, pajak parkir pernah mencapai Rp 22,1 miliar.

Dengan perubahan tarif hanya 10 persen, pendapatan Pemkab Sidoarjo dari pajak parkir diperkirakan akan turun. Kecuali, ekonomi benar-benar pulih dan Bandara Juanda beroperasi normal seperti sebelum pandemi. Sebab, lebih dari 50 persen pendapatan pajak parkir disumbang oleh parkir bandara.

Hal lain yang mengancam PAD Sidoarjo adalah pajak penerangan jalan (PPJ). Itu tak lepas dari keluarnya Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) No 80/PUU-XV/2017. Putusan dari perkara yang diajukan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) itu mengamanatkan bahwa PPJ dari listrik yang dihasilkan sendiri tidak boleh dipungut.

Selama ini Pemkab Sidoarjo memperoleh PPJ atas listrik yang dihasilkan sendiri sebesar Rp 17 miliar. Penyumbang terbesar adalah PT Tjiwi Kimia. Pabrik kertas yang ada di Krian, Sidoarjo. Lainnya adalah pabrik-pabrik yang memproduksi listrik sendiri melalui genset berkapasitas besar.

PPJ menyumbang PAD sangat besar. Target tahun 2022 ini mencapai Rp 354 miliar. Itu mencapai 34 persen dari target perolehan pajak tahun ini sebesar Rp 1,034 triliun. Selain PPJ, penyumbang pajak daerah terbesar adalah BPHTB dan PBB. Masing-masing diharapkan  menyumbang 28 persen dan 26 persen.

PPJ itu cukup merisaukan pemkab. Sebab, dalam draf RPP, diamanatkan bahwa PPJ boleh dikutip setelah adanya perda pengutipan PPJ. Sementara itu, perda belum bisa dibuat sebelum adanya PP yang hingga kini masih berupa rancangan. Apalagi, proses penyusunan perda memakan waktu yang lama karena juga memerlukan persetujuan pemerintah provinsi dan pengesahan Kementerian Dalam Negeri.

Ancaman penurunan PAD juga dari pajak hiburan yang tarifnya pun diturunkan. Selama ini, pajak hiburan terbesar masih berasal dari sinema. Hiburan lain seperti kafe atau pub sangat kecil. Penurunan tarif pajak hiburan dipastikan juga mengancam penurunan perolehan pajak daerah.

Perolehan pajak daerah ditambah retribusi daerah sangat penting bagi pemda seperti Sidoarjo. Sebab, keduanya merupakan penyumbang terbesar PAD. Tahun ini PAD Sidoarjo ditergat sebesar Rp 1,8 triliun. Dari angka itu, sebesar Rp 1,034 triliun diharapkan dari pajak daerah. Sementara itu, retribusi daerah ditargetkan Rp 80 triliun. 

Melihat kontribusinya yang sangat besar,  perubahan aturan dalam tarif berbagai pajak daerah itu menjadi ancaman.  Meski demikian, harus disadari bahwa perubahan tarif tersebut juga demi kepentingan lebih luas. Kepentingan ekonomi dan masyarakat.

Adanya masalah dalam penetapan tarif dan pengutipan pajak dan retribusi daerah itu banyak terjadi pasca-otonomi daerah. Sebab, otonomi memang membuat pemerintah daerah harus kreatif dan bekerja keras menggali potensi-potensi pendapatan bagi daerah. Pajak dan retribusi itulah yang menjadi andalan pemerintah daerah dalam mengumpulkan pendapatan. Pendapatan yang besar membuat pemerintah daerah leluasa dalam menyejahterakan warganya.

Untuk itu, pemerintah daerah diberi  kewenangan membuat kebijakan daerah untuk mengatur sendiri. Termasuk  menggali sumber-sumber ekonomi guna memperoleh pendapatan yang disebut  pendapatan asli daerah (PAD). PAD itulah yang menjadi sumber pembiayaan pembangunan di daerah untuk   menyejahterakan rakyatnya.

Dalam otonomi, PAD begitu penting. Kemampuan PAD suatu pemda menjadi salah satu indikator kapasitas daerah dalam penyelenggaraan otonomi. Jika PAD meningkat, dana yang dimiliki pemerintah daerah akan lebih tinggi. Sebab, PAD, dana perimbangan, serta lain-lain pendapatan yang sah akan menjadi sumber anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) untuk membiayai daerah.

Selain itu, dengan meningkatnya PAD, tingkat kemandirian daerah akan meningkat pula. Meningkatnya PAD akan meningkatkan APBD, di mana peningkatan APBD berarti peningkatan kemampuan daerah dalam mendorong perekonomian dan pembangunan daerah tersebut. Semua itu pada akhirnya akan meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat yang menjadi tujuan penyelenggaraan pemerintah daerah.

Karena itulah, banyak pemda yang lebih berorientasi pada pendapatan daerah dalam membuat kebijakan. Termasuk dalam kebijakan tarif pajak dan retribusi. Tarif itu perlu diatur agar di satu sisi bisa memberikan pendapatan bagi pemerintah daerah, dan di sisi lain untuk pembangunan dan memberikan pelayanan yang lebih baik kepada masyarakat. (*)

 

*) Imron Mawardi, dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis dan Wakil Dekan Fakultas Teknologi Maju dan Multidisiplin Universitas Airlangga.

 

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: