Bola Panas Kasus Yosua Balik Kucing

Bola Panas Kasus Yosua Balik Kucing

-Ilustrasi: Reza Alfian Maulana-Harian Disway-

Irjen Ferdy Sambo dibawa polisi, ditempatkan di Mako Brimob, Kelapa Dua, Depok, Sabtu, 6 Agustus 2022. Diduga, Sambo mengambil CCTV di TKP tewasnya Yosua. Maka, kasus ini berubah total.

BERUBAH, dari pengumuman resmi Polri, bahwa Brigadir Yosua bersalah, maka terjadi tembak-menembak, akhirnya Yosua tewas.

Menjadi bentuk pertanyaan: ”Benarkah itu? Padahal, CCTV di TKP dinyatakan Polri rusak sejak dua pekan sebelum kejadian?”

Ternyata, Sambo ditempatkan di Mako Brimob, dilarang pulang, sampai 30 hari sejak ditempatkan, Sabtu, 6 Agustus 2022, atas perintah Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo. Diduga, Sambo mengambil CCTV TKP.

Dengan begitu, kasus ini sudah mendekati ending. Per hari ini, Senin, 8 Agustus 2022. Peristiwa tembak-menembak yang menewaskan Yosua, Jumat, 8 Juli 2022.

Konstruksi kasus berbalik: Dari kesalahan ”ditimpakan” ke orang yang sudah meninggal (Yosua). Menjadi orang yang semula diduga jadi korban perbuatan Yosua (Sambo) kini malah diisolasi di Mako Brimob.

Konstruksinya ”balik kucing”. Atau berbalik seperti kucing yang suka berbolak-balik.

Tapi, Polri mengumumkan, penempatan Sambo di Mako Brimob bukan perkara pidana, melainkan perkara etik. Perbedaan pidana dan etik dijelaskan Kadivhumas Polri Irjen Dedi Prasetyo di jumpa pers, Sabtu (6/8).

Etik: Sambo diisolasi di Mako Brimob karena hasil pemeriksaan Pengawasan dan Pemeriksaan Khusus (Wasriksus) atau Inspektorat Khusus (Irsus) Polri. Sebab, ia diduga mengambil CCTV di TKP.

Dedi: ”Dari hasil kegiatan pemeriksaan tim gabungan, Wasriksus, terhadap perbuatan Irjen FS yang diduga melakukan pelanggaran prosedur dalam penanganan tindak pidana meninggalnya Brigadir J di rumah dinas Kadivpropam Polri.”

Dilanjut: ”Maka, pada malam hari ini (Sabtu, 6 Agustus 2022), yang bersangkutan langsung ditempatkan di tempat khusus, yaitu di Kor Brimob Polri. Ini masih berproses.”

Sementara itu, kasus pidana ditangani timsus bentukan Kapolri. Unsur timsus adalah Polri bersama Komnas HAM dan Kompolnas pimpinan Menko Polhukam Prof Mahfud MD.

Apa kata Mahfud soal ini?

Mahfud melalui pesan singkat kepada pers, Minggu, 7 Agustus 2022, mengatakan:

”Bisa masuk dua-duanya. Hukum formal, itu kan kristalisasi dari moral dan etika. Jadi, pengambilan CCTV itu bisa melanggar etik karena tidak cermat atau tidak profesional. Dan sekaligus bisa pelanggaran pidana karena obstruction of justice dan lain-lain.”

Dilanjut: ”Ya, karena sanksi etik bukan diputus oleh hakim dan bukan hukuman pidana, melainkan sanksi administratif, seperti pemecatan, penurunan pangkat, teguran, dan lain-lain.”

Dilanjut: ”Sedangkan peradilan pidana diputus hakim yang hukumannya adalah sanksi pidana seperti masuk penjara, hukuman mati, perampasan harta hasil tindak pidana, dan lain-lain.”

Mahfud memberikan contoh kasus Akil Mochtar, mantan ketua Mahkamah Konstitusi, ketika di-OTT KPK, langsung ditahan.

Mahfud: ”Ia (Akil Mochtar) diberhentikan dulu dari jabatannya sebagai hakim MK melalui sanksi etik. Itu mempermudah pemeriksaan pidana. Karena dengan begitu, ia tidak bisa cawe-cawe (berbuat sesuatu) di MK.”

Seandainya dugaan bahwa Sambo mengambil CCTV di TKP kelak bisa dibuktikan kebenarannya, dipertanyakan: Mengapa ia lakukan itu?

Ketua Indonesia Pplice Watch Sugeng Teguh Santoso dalam keterangan pers, Minggu (7/8), mengatakan: Sambo diduga melanggar etik berat.

Sugeng: ”Dalam pemeriksaan kini, terkait pelanggaran kode etik berat. Yaitu, merusak TKP dan menghilangkan barang bukti, pistol, proyektil, dan lain-lain. Untuk pelanggaran kode etik, FS bisa dipecat.”

Dilanjut: ”Dalam pelanggaran kode etik berat, juga termasuk perbuatan pidana yaitu melanggar Pasal 221 KUHP juncto Pasal 233 KUHP dengan ancaman hukuman empat tahun penjara.”

Sebenarnya, arah perjalanan perkara ini sudah masuk titik terang, sejak Bharada E (Richard Eliezer) ditetapkan sebagai tersangka pada Jumat, Agustus 2022.

Pasal yang disangkakan: Melanggar Pasal 338 KUHP juncto Pasal  55 KUHP dan Pasal 56 KUHP.

Pasal 338 sudah jelas: Pembunuhan biasa. Tidak direncanakan. Tapi, juncto-nya itu tergolong unik. Sebab, Pasal 55 dan 56 KUHP menandakan, Bharada E tidak membunuh sendirian. Melainkan dibantu. Atau disuruh.

Bunyi Pasal 55 KUHP Ayat 1: Dipidana sebagai pelaku tindak pidana:

a) Mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan.

b) Mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan.

Pasal 55 KUHP Ayat 2: Terhadap penganjur, hanya perbuatan yang sengaja dianjurkan sajalah yang diperhitungkan, beserta akibat-akibatnya.

Pasal 56 KUHP: Dipidana sebagai pembantu kejahatan:

a) Mereka yang sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan dilakukan.

b) Mereka yang sengaja memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan.

Sedangkan, pengumuman Polri yang sudah tersebar ke publik selama hampir sebulan ini: Hanya ada dua orang baku tembak. E dan J. Lalu J tewas. Tidak ada orang lain.

Analisis itu dikuatkan pengacara Bharada E, Deolipa Yumara, seperti dikutip dari YouTube Metrotvnews, Minggu (7/8). Deolipa mengatakan:

”Sudah dikatakan oleh yang bersangkutan (Bharada E). Tentang orang yang menyuruh bunuh Brigadir J. Tapi, kan ini untuk kepentingan penyidikan dan pro justitia. Jadi, nama orang yang menyuruh klien kami (untuk membunuh Yosua) tidak bisa kami berikan sekarang.”

Cepat atau lambat, nama yang yang menyuruh itu akan diungkap.

Dari konstruksi itu, masyarakat bisa menganalisis sendiri, rancang bangun kasus ini sejak awal. Sederhana, tapi dirumitkan. (*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: