Istri Bripda AP Selingkuh, dalam Teori BAS dan BIS
-Ilustrasi: Reza Alfian Maulana-Harian Disway-
Bripda AP menggerebek istri, RP, 23, yang ngamar hotel di Palembang bersama IM, 24. ”Ketangkap basah,” kata Kapolsek Ilir Barat I, Palembang, Kompol Roy A. Tambunan kepada pers, Kamis, 1 September 2022. Heboh.
HEBOH karena penggerebekan itu tersiar se-Indonesia. Media massa dan medsos. Dengan aneka komentar, mayoritas negatif.
Dua hari kemudian, RP minta maaf. Ditujukan kepada orang tua dan seluruh keluarga. Sekaligus menyampaikan penyebab dia selingkuh.
RP: ”Saya istri dari Bripda Ade Pratama (AP). Sebelumnya saya meminta maaf kepada keluarga besar saya. Terutama keluarga ayah dan keluarga ibu saya. Karena saya sudah berbuat salah.”
Dilanjut: ”Saya minta maaf sebesar-besarnya, telah mencoreng nama keluarga besar saya.”
Lantas, RP menceritakan latar belakang perselingkuhan itu.
”Ini berawal dari kata-kata suami saya. Yang sering bilang sama saya, bahwa saya ini jahat. Sudah tidak cantik lagi.”
Dilanjut: ”Ia bilang, saya ini nggak laku lagi. Sebaliknya, kalau dia, masih banyak gadis yang ngantre. Nah, kalau saya, katanya, belum tentu bisa dapat perjaka lagi. Dan perkataannya itu terngiang-ngiang di otak saya.”
Akibat sakit hati, RP mengontak teman sekolah, pria inisial IM. Dulu IM adalah pacar RP. IM dikontak RP, diajak ngamar di hotel.
Rencana RP ngamar diketahui suami, AP.
Kemudian, AP lapor ke kesatuannya, Polres Banyuasin. Karena lokasi hotel berada di yurisdiksi Polsek Ilir Barat, penggerebekan didampingi Kapolsek Ilir Barat I Kompol Roy.
Kompol Roy: ”Dengan laporan itu, yang bersangkutan tidak menggerebek sendirian. Tapi, kami dampingi. Menghindari hal yang tidak diinginkan.” Akhirnya penggerebekan lancar. Tanpa kekerasan.
Permintaan maaf RP pasti sangat berat diucapkan. Apalagi, banyak orang Indonesia sulit meminta maaf.
Maka, permintaan maaf RP mengharukan publik. Manusia bisa salah. Jika sudah salah, lalu minta maaf secara ikhlas, timbul simpati publik. Walaupun kata maaf tidak bisa mungkin menghapus tindakan amoral. Dan hukum.
Sesungguhnya, ”sulit minta maaf” bukan hanya milik orang Indonesia. Melainkan universal. Memberatkan hati. Bagi semua bangsa di dunia.
Komponis dan penyanyi top dunia, Elton John, pada 1976 menciptakan dan menyanyikan lagu berjudul ”Sorry Seems to be, the Hardest Word”. Penggalan liriknya, pada reff, begini:
”What I do to make you want me? What I got to do to be heard...
What do I say when it's all over? Sorry seems to be the hardest word.”
Langsung, disambar melodi melengking tinggi.
Dr Joshua R. Guilfoyle dalam makalah ilmiahnya bertajuk ”Sorry, not sorry: The effect of social power on transgressors’ apology and nonapology” (Januari 2022) melakukan riset tentang ”maaf”.
Guilfoyle adalah pakar perilaku manusia. Risetnya dilakukan awal 2020 sebagai disertasi meraih gelar doctor of philosophy (PhD) program studi psikologi di York University Toronto, Ontario, yang mendapat predikat sangat memuaskan, Agustus 2020.
Reaponden 128 mahasiswa-mahasiswi York University Toronto. Usia rata-rata 20 tahun.
Hasil riset Guilfoyle kemudian terkenal. Jadi rujukan teori psikologi. Yakni, teori BAS (behavioral approach system) dan BIS (behavioral inhibition system).
BAS, intinya suatu sikap yang umumnya dimiliki orang yang senang berkuasa. Atau memang punya power di masyarakat. Biasa mengendalikan orang lain. Merasa lebih unggul daripada orang lain di segala bidang.
BIS, orang biasa. Tanpa power di masyarakat. Peka terhadap sinyal atau simbol yang dikirimkan orang lain atau masyarakat. Cenderung menerapkan sistem perilaku, menghambat emosi diri secara rasional. Jika bertindak salah mengaku salah, jika benar berani memperjuangkan kebenaran.
Gampangnya: BAS berpusat pada diri sendiri, abaikan orang lain. Sebaliknya, BIS bersikap peka terhadap sinyal yang dikirimkan orang lain.
Responden dibagi dua kelompok, A dan B.
Kelompok A diinstruksikan agar memikirkan bahwa mereka punya kendali atas orang lain. Ditanamkan oleh peneliti, kelompok A pegang kendali atas semua orang. Siapa pun bakal menurut kepada mereka. Sebab, mereka adalah manusia unggul.
Kelompok B diinstruksikan bahwa kehidupan mereka selalu dipantau masyarakat. Jangan sampai berbuat salah. Suatu kesalahan kecil saja, mereka bakal dihakimi masyarakat. Sebab, hidup bermasyarakat harus peka terhadap sinyal yang dikirimkan orang lain. Sinyal bisa berupa komentar, bahkan caci maki.
Dua kelompok itu diuji dengan adegan yang sama. Bahwa suatu hari mereka (bersama pasangan atau pacar) menghadiri pesta dansa. Di tengah keriuhan pesta, responden diinstruksikan selingkuh. Mencari pasangan lain, meninggalkan (secara diam-diam) pasangan semula.
Kemudian terjadi kacau. Pasangan awal marah kepada responden. Menyeret responden keluar ruang pesta. Di luar, responden diadili pasangan karena sudah selingkuh.
Hasilnya: Kelompok A tidak mengaku salah. Berbelit-belit. Menuduh orang lain mengajaknya selingkuh. Mencari aneka pembenaran. Bahkan, ada yang berbalik menyalahkan pasangan awal: ”Mengapa kamu menghilang sehingga aku terpaksa cari pasangan lain?”
Kelompok B langsung mengakui salah. Meminta maaf. Dengan tulus. Berjanji tidak akan mengulangi salah lagi. Itu membuat pasangan awal terharu. Lantas, mereka berpelukan.
Kelompok A adalah BAS. Kelompok B adalah BIS.
Guilfoyle dalam disertasinya: ”Individu dengan orientasi BAS cenderung tidak memerhatikan korban. Tidak sadar, sudah menyakiti orang lain. Bahkan, tidak peduli pada orang lain.”
Individu BAS adalah pembuat kesalahan sekaligus ingin melindungi citra mereka sebagai orang tidak bersalah. Kompensasinya, mencari cara melimpahkan kesalahan kepada orang lain.
Sebab, individu BAS punya kekuasaan tinggi. Atau orang yang merasa punya kekuasaan tinggi. Menganggap orang lain rendah, yang selalu bisa dikontrol oleh BAS. Dengan cara apa pun.
Sebaliknya, BIS yang diinstruksikan bahwa hidup manusia selalu terkait dengan orang lain, kapan pun di mana pun, langsung mengakui salah. Minta maaf.
Kesimpulan riset, Guilfolye mengatakan, setiap orang bisa berorientasi jadi BAS atau BIS. Terserah setiap individu. ”Konsepnya seperti hasil riset tersebut,” ungkap Guilfoyle.
Persis, seperti lagu Elton John di atas. Tak beda dengan kasus RP, terpaksa meminta maaf walau sangat berat.
Kelompok musik Slank pada 1990 membikin lagu bertajuk ”Maafkan”. Judulnya pendek, tapi mantap. Dalam irama slow rock. Mengentak, melengking tinggi. Menggambarkan penyesalan.
Penggalan lirik, pada reff, begini:
Maafkanlah aku... Acuhkan dirimu... Waktu pertama kali tersenyum padaku.
Maafkanlah aku... Jejali dirimu dengan segala kisah sumpah serapahku. (*)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: