Mijn Roots Mencari Orang Tua Kandung: Merasa Tak Diterima di Mana pun (18)

Mijn Roots Mencari Orang Tua Kandung: Merasa Tak Diterima di Mana pun (18)

Olvi Jasinta bertemu keluarga besar ibu kandungnyi: Wungkar Family di Langowan, Minahasa, Sulawesi Utara.-Dok Olvi Jasinta-

Olvi Jasinta mengalami depresi hebat di usia 15 tahun. Rasanya seperti ditolak untuk kali kedua. Dia merasa tidak diterima di Indonesia maupun Belanda. 

SEJAK kecil Olvi mencoba memercayai cerita karangan orang tua angkatnyi. Dia selalu dicekoki dengan cerita bahwa orang tua kandungnyi di Indonesia melepasnyi karena alasan ekonomi.

 

Alasan itulah yang membuatnyi merasa tidak diterima hidup di Indonesia. Orang tua kandungnyi tak menginginkan kehadiran Olvi dan lebih memilih uang. Olvi sudah berusaha keras memercayai semua cerita itu. Namun, naluri mengatakan sebaliknya. 

 

Olvi merasa perlu bertemu langsung dengan keluarga besarnyi di Langowan, Minahasa, Sulawesi Utara. Cerita adopsi yang diterima tidak cover both sides.

 

Banyak pertanyaan yang selalu muncul di benaknyi: Saya gadis Belanda dari Indonesia atau gadis Indonesia yang tinggal di Belanda? Pencarian jati diri itu selalu dihambat. Olvi diminta tidak banyak bertanya soal asal-usulnyi. 

 

Konflik dengan orang tua angkat pun terjadi. Dia dianggap sebagai anak yang tidak tahu terima kasih. Mereka sudah membawa Olvi ke Belanda dengan jaminan masa depan yang kata mereka pasti lebih baik.

 

Kalau menetap di Indonesia, mungkin Olvi cuma jadi petani. Atau peternak bebek seperti ayahnyi. Di mata mereka, Indonesia jauh tertinggal dari standar hidup orang Eropa.

 

Dia pun merasa tidak diterima di keluarga angkatnyi. Dunia terasa tidak adil. Rupanya mereka memandang Olvi sebelah mata. Dia dibawa ke Belanda atas dasar kasihan. Bukan karena kasih sayang tulus. 

 

Hingga kini, Olvi selalu mengingat bahwa 1990 adalah periode yang paling menyedihkan dan sepi dalam hidupnyi. Sepulang sekolah, dia langsung ke kamar dan menyendiri.

 


Surat pertama dari Ayah Olvi Jasinta: Erens Mokalu pada 3 Mei 1988.-Dok Olvi Jasinta-

Dua tahun sebelum masa kelam itu, Olvi sebenarnya berhasil menyurati sang ayah kandungnuyi di Langowan, Sulawesi Utara: Erens Mokalu. Surat balasan ditulis secara singkat:

 

Kawatak, 3 Mei 1988

 

Mendapatkan anakku Olvi yang tercinta.

 

DHT. Saat menyurat, beradalah kami dalam keadaan sehat-sehat.

Harapan kami semoga kamu juga dalam keadaan demikian.

Nak, foto-foto Olvi serta keluarga dan surat, kami sudah terima 3 Mei 1988.

 

Walaupun Olvi tinggal di Negeri Belanda, kami, ayah, dan ibu, serta kayak-kakak tetap mendoakan Olvi, Semoga Tuhan yang Mahakuasa selalu melindungi Olvi serta keluarga di Netherland.

 

Terima kasih buat Mama dan Papa VDR-H

 

Hormat kami

Ayah dan Ibu

 

Keluarga Mokalu-Tambuwun

 

Surat itu tak menjawab banyak pertanyaan di benaknyi. Olvi masih belum tahu cerita sebenarnya. Bahkan, sang ayah masih menyebutkan ayah dan ibu. Padahal, ibu kandung Olvi sudah tiada tak lama setelah dia dilahirkan. Belakangan, Olvi mengetahui bahwa sang ayah menikah lagi.

 

”Dan sekarang saya mengetahui bahwa ayah memberikan saya untuk diadopsi karena paksaan dari orang gereja dan ia merasakan apa yang saya rasakan,” tulis Olvi dalam ringkasan proyek film yang dibikin 2021. 

 

Kisah sesungguhnya didapatkan lima tahun lalu, ketika pulang kampung ke Langowan, saat sang ayah sudah tiada. Keluarga besarnyi mengungkap semua kisah sesungguhnya yang selama ini selalu ditutup-tutupi.

 

Naluri Olvi benar. Maklum, saat itu permintaan anak adopsi dari luar negeri lebih besar daripada pasokannya. Keinginan orang tua angkat didahulukan dan dianggap lebih penting daripada kesejahteraan anak dan orang tua kandungnya. 

 

Olvi mendapati cara berpikir arogan budaya Barat: Mereka merasa sanggup menyelamatkan anak-anak miskin. Namun, cara pandang itu justru lebih banyak menimbulkan kerugian daripada kebaikan dalam kasus yang dia alami.

 

 

 

Bukankah Belanda selalu begitu. Mereka masih menganggap Indonesia sebagai mitra dagang atau koloni yang saling menguntungkan. Bukan wilayah jajahan. Dan sampai sekarang Belanda adalah satu-satunya negara yang tidak mau mengakui bahwa Indonesia merdeka 17 Agustus 1945. 

 

Perdana Menteri Belanda Mark Rutte memang sudah menyampaikan penyesalan mendalam kepada rakyat Indonesia atas kekerasan ekstrem yang terjadi pada Revolusi Nasional Indonesia (1945–1949) pada 17 Februari 2022. 

 

Namun, beberapa hari setelahnya, pendiri komunitas Roodebrug Soerabaia dan anggota Histori Bersama (platform sejarah kolonial berbahasa Indonesia-Belanda-Inggris) Ady Setyawan menilai, permintaan maaf itu hanya omong kosong.

 

Permintaan maaf diterima jika Belanda mau mengakui kemerdekaan Indonesia bukan  27 Desember 1949.  Plus kembalikan uang Indonesia sebesar 4,3 juta gulden sebagai tebusan kemerdekaan!

 

Sampai kapan kita hidup dalam kebohongan? (Salman Muhiddin)

 

Ayah, Aku Tidak Marah. BACA BESOK!

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: