Presiden Luar Jawa

Presiden Luar Jawa

-Ilustrasi: Reza Alfian Maulana-Harian Disway-

LUHUT Binsar Pandjaitan merasa dirinya dobel minoritas. Pertama, bukan orang Jawa. Kedua, nonmuslim. Sebab itulah, ia menguburkan hasratnya menjadi presiden.

”Harus tahu diri jugalah, kalau kau bukan orang Jawa,” kata Menteri Luhut saat podcast dengan Rocky Gerung. Intinya, pemenangnya masih orang Jawa.

Apa yang dilontarkan Luhut itu bukan barang baru. Isu sudah terbangun sejak lama. Bahkan, di era Soeharto pun sudah muncul. Jadi, sudah muncul sebelum demokrasi pemilihan langsung era reformasi.

Tak hanya isu Jawa (mayoritas suku) vs non-Jawa dan muslim (mayoritas agama) vs nonmuslim. Tapi, juga ada isu militer (supremasi) vs sipil dan isu gender: pria (supremasi) vs perempuan.

Sebenarnya, isu dikotomi itu makin tidak relevan. Isu gender, misalnya, di berbagai pilkada, banyak perempuan yang menang. Isu tersebut sudah pasti tidak relevan lagi.

Isu dikotomi militer vs sipil juga sudah sangat tidak relevan. Reformasi dengan segala aturan dan regulasi, termasuk sistem pemilu, telah membangun supremasi sipil. Siapa pun yang ingin memegang otoritas politik di level apa pun lewat pemilihan langsung.

Sudah tidak ada lagi penunjukan langsung atau pengondisian yang membuat tentara menjadi kepala daerah di mana-mana. Sekarang, bila ingin menjadi pemimpin daerah, si calon harus melepas baju tentara atau polisi. Hasilnya, ada yang menang, ada juga yang kalah.

Soal agama, di level pemilihan kepala daerah, calon dari minoritas sudah ada yang menang. Misalnya, kemenangan F.X. Hadi Rudyatmo yang beragama Katolik dalam pemilihan wali kota Solo, 2015. 

Di kota itu, 78,95 persen muslim, 13,75 persen Kristen, dan 6, 98 persen Katolik, agamanya Hadi. Itu periode keduanya. Yang pertama,  menjadi wali kota melanjutkan Jokowi yang loncat menjadi gubernur Jakarta. Hadi juga sempat dihantam isu SARA dalam kampanye. Namun, ia meraih 60 persen.

Di luar negeri, Sadiq Khan, seorang muslim, memenangkan pemilihan wali kota London. Dua kali lagi. Di kota metropolitan lagi. Padahal, ia penganut agama minoritas di salah satu kota terpenting dunia itu.

Soal dikotomi suku, ada juga minoritas yang menang. Gubernur NTB Zulkieflimansyah berasal dari suku Samawa (Sumbawa), minoritas di provinsi tersebut. Jumlahnya sekitar seperlima dari suku Sasak (Lombok). Ia menang dengan suara yang sangat tipis. 

Di kampung Luhut, Sumatera Utara, suku Batak yang terbanyak. Sebanyak 44,75 persen. Dalam pemilihan gubernur 2018, yang menang Edi Rahmayadi (Melayu Deli dan Jawa). Pilgub sebelumnya, yang menang Gatot Pujo Nugroho yang masuk katagori pujakesuma (putra Jawa kelahiran Sumatera).

Tapi, apakah di level pilpres non-Jawa bisa menang? Walaupun sampai saat ini, belum ada presiden non-Jawa hasil pemilihan. B.J. Habibie? Beliau menjadi presiden melanjutkan Soeharto, seperti halnya Megawati yang menyambung Gus Dur.

Seharusnya, setelah menjabat presiden, Habibie bersedia maju. Ia mempunyai peluang menang (saat itu masih pemilihan lewat MPR) karena saat menjadi RI-1 sukses membangun ekonomi dan meletakkan demokrasi. Sayang, Habibie memilih tak maju. Peluang, melihat runtuhnya mitos presiden pasti dari Jawa, ikut hilang.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: