Sejarah dan Konflik Surat Ijo Surabaya: Iming-Iming Pemutihan yang Berujung Surat Ijo (3)

Sejarah dan Konflik Surat Ijo Surabaya: Iming-Iming Pemutihan yang Berujung Surat Ijo (3)

Pejuang Surat Ijo dan Dosen luar biasa MKWU Universitas Airlangga Mulyadi J. Amalik.-Dok Mulyadi J Amalik.-

Tanah-tanah bekas kepemilikan partikelir atau ex gemeente Belanda diakuisisi pemerintah RI. Terjadi nasionalisasi tanah yang dilandasi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1958. Semuanya ditarik ke pusat. Begitu pula dengan Surabaya.

Kehadiran aturan itu membawa konsekuensi yang berat bagi kaum masyarakat kelas bawah. Aturan itu justru menjadi pintu masuk bagi perebutan tanah oleh pemerintah daerah,  BUMN, swasta, dan militer. Sementara itu, warga tidak mendapat prioritas dan hak yang sama. 

Dua tahun kemudian pemerintah kembali menelurkan aturan pertanahan. Kali ini giliran UU No. 5 tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria (UUPA) dan UU No. 2 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Bagi Hasil (UUPBH) yang ditetapkan pada tanggal 24 September 1960. 

Istilah land reform mulai populer kala itu. Spiritnya bagus. Nasionalisasi tanah untuk kepentingan rakyat. Sayang, eksekusinya tidak sesuai dengan yang ditulis. Tanah yang sudah ditempati rakyat tak serta merta bisa dikuasai rakyat.

Dosen luar biasa MKWU Universitas Airlangga Mulyadi J. Amalik menyebut UUPA tersebut semangatnya adalah menghapus sistem sewa tanah yang diterapkan sejak zaman Belanda. “Namun prada praktiknya, hubungan eksploitatif ini diteruskan sampai sekarang,” ujar pria asal Palembang itu ditemui di rumahnya. 

Pelaksanaan land reform justru bertentangan dengan amanat Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 yang berbunyi: “Bumi, air, dan seluruh kekayaan alam yang ada di bawahnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Ia miris, penyimpangan malah terjadi di tingkat pemerintah daerah. Pada tahun 1970-an pemkot Surabaya menjalankan program pemutihan. 

Warga menyambut dengan suka cita. Mereka berbondong-bondong mengikuti langkah-langkah yang diminta pemkot. “Bayangan mereka. Sebentar lagi bisa dapat sertifikat tanah,” lanjutnya.

Kenyataannya sebaliknya. Tanah-tanah yang telah ditempati sejak zaman Belanda sejatinya bisa disertifikatkan warga. Normatifnya begitu. Namun pemkot yang berkuasa kala itu, justru mencaplok tanah tanah tersebut dan dimasukkan ke daftar aset.

Warga yang memanfaatkan program pemutihan mendapat surat izin pemakaian tanah (IPT). Yang sampulnya berwarna hijau itu. Yang sampai sekarang muncul istilah surat ijo. (Salman Muhiddin)

Terjebak Sistem Sewa Sejak 1971, BACA BESOK!

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: