Sejarah dan Konflik Surat Ijo Surabaya: Gubeng Paling Kaya Tanah HPL (11)

Sejarah dan Konflik Surat Ijo Surabaya: Gubeng  Paling Kaya Tanah HPL (11)

Pejuang Surat Ijo menggelar demonstrasi di Balai Kota Surabaya pada 2020.-Memorandum-

Separo dari 14 juta meter persegi tanah surat ijo berstatus hak pengelolaan (HPL). Kementerian Agraria Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) memberikan hak itu ke pemkot. Namun dalam praktiknya yang mengelola tanah tersebut adalah warga. Yang bayar pajak bumi bangunan (PBB) atas tanah itu juga warga.


Tanah HPL tersebar di Kecamatan Gubeng, Tegalsari, Dukuh Pakis, Sawahan, Tambaksari, Pabean Cantikan, dan Krembangan. Paling banyak ada di Gubeng: 2,5 juta meter persegi. Itu setara sepertiga dari total tanah HPL surat ijo di Surabaya.

Surat Ijo Berdasarkan Status Tanah dan Luas (meter persegi)

  • HPL 7.687.775
  • Eigendom 4.171.741
  • HP 1.123.494
  • TNLL 978.044
  • P2TUN 622.669
  • Besluit 379.993
  • Total 14.936.717

Semuanya terkonsentrasi di kawasan kota lama, bekas wilayah gemeente era Hindia Belanda. Hal tersebut menunjukkan bahwa sebagian tanah hak barat yang berada di bekas wilayah gemeente telah terkonversi sesuai hak atas tanah di UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria).

Namun ada juga HPL yang baru diperoleh tahun 1997. Misanya SK HPL 53 Tahun 1997 untuk kawasan Gubeng, dan SK HPL Nomor 55 Tahun 1997 untuk kawasan Perak Barat. Satu SK bisa ditempati ribuan persil dengan luasan ratusan ribu meter persegi. 

UUPA memiliki semangat redistribusi tanah-tanah negara ke rakyat yang menempati atau mengelola. Namun oleh pemkot kala itu, tanah HPL tidak diserahkan ke rakyat. 

Maka rakyat yang tinggal di kawasan HPL milik pemkot itu harus terkena jeratan surat ijo. Mereka membayar sewa mulai tahun 1971. Lalu istilahnya diganti menjadi retribusi pada 1977.

Kedua istilah itu sebenarnya tidak sesuai dengan Permendagri yang dikeluarkan tahun 1972. Kepala daerah tidak boleh memberikan hak atau izin kepada siapapun atas tanah negara yang pengelolaannya sudah dilimpahkan ke daerah. Nyatanya, praktik itu diteruskan sampai hari ini.  

Dalam SK HPL 53 dan 55 terdapat klausul bahwa pemkot wajib melihat area yang masuk dalam SK. Jika ada penduduk atau penggarapan lahan, maka harus ada ganti rugi ke warga. Jika tidak, maka area tersebut harus dicoret dari peta HPL. 

Pasa itu dilanggar. Komunitas Pejuang Surat Ijo (KPSIS) sedang mencari SK HPL lainnya. Mereka sudah berkali-kali meminta pemkot namun tidak pernah mendapatkannya. “Kami harus berjuang lewat komisi informasi,” ujar Ketua KPSIS Hariyono.

SK HPL 53 dan 55 didapatkan dari perjuangan KPSIS melalui Komisi Informasi Jatim. Yang kantornya dekat Terminal Purabaya itu. Jika ditemukan pelanggaran yang sama di semua SK HPL pemkot, maka separo persoalan surat ijo beres. (Salman Muhiddin)

Mengangsur Tanah di YKP Dapat Surat Ijo, BACA BESOK!

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: