Transformasi Sidoarjo
-Ilustrasi: Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
Saya tidak tahu mana yang lebih menonjol dari Gus Muhdlor dalam memimpin Sidoarjo. Tapi, setidaknya ia tergolong bupati muda yang suka blusukan. Ia terlihat sering terjun ke lapangan untuk memastikan jalannya program di lapangan. Bahkan, tampak ia bisa mengomentari hal-hal teknis ketika terjun di lapangan.
Ia bisa luwes ketika menghadapi orang biasa. Ia bisa tampak akrab dengan warganya. Namun, ia bisa segera memberikan solusi ketika ada persoalan yang dihadapi di lapangan. Basis sosial sebagai putra kiai besar dan kompetensi pribadinya sangat memberikan harapan bagi transformasi Sidoarjo ke depan.
Hasilnya sudah mulai bisa dirasakan. Ada kerja konkret yang sudah dikerjakan. Dalam masa jabatannya yang baru berjalan dua tahun. Masih cukup waktu untuk terus melahirkan legasi fisik yang bisa dirasakan dan dikenang rakyatnya.
Saya yang bukan orang Sidoarjo merasakan bahwa di daerah itu negara mulai hadir. Ada pembangunan infrastruktur di mana-mana. Bundaran Aloha yang dulu pusat keruwetan mulai digarap. Frontage road Sidoarjo sudah dimulai.
Pekan lalu saya menyusuri jalan utama Krian–Mojosari. Tampak ada pembangunan jalan flyover di sana. Sepanjang jalan itu juga tampak tumbuh dan ramai. Pasti banyak yang berharap kehadiran bupati muda itu memberikan makna lebih.
Sejak dulu Sidoarjo bisa membuat lompatan besar. Bertransformasi dari kota limpahan Surabaya menjadi kota pendukung utama Kota Surabaya. Seperti kota pinggiran Chicago, Amerika Serikat, yang menjadi kota baru yang dihuni para orang kaya baru di sana.
Di tahun 2.000-an, dibangun kawasan properti di subkota Chicago. Di dekat pusat pengembangan teknologi dan informasi di sana. Properti itu berkembang pesat. Isinya para crazy rich, orang kaya baru. Para pekerja IT dan industri digital.
Kawasan suburban penopang kota Chicago itu menjadi kawasan mahal. Meski, setelah disurvei, ternyata para penghuninya tidak puas karena semua orang kaya. Seperti tumbuhnya kawasan Delta Sari antara Surabaya dan Sidoarjo.
Survei itu kemudian merekomendasikan perusahaan propertinya membangun kawasan pekerja tak kaya. Jadi, kalau AC rusak, mesin cuci rusak, dan ledingnya rusak, tidak susah mencari tukangnya. Saya pernah di kawasan tersebut, saat itu.
Sidoarjo bisa menjadi kawasan penopang seperti kawasan suburban di barat Chocago tersebut. Tinggal memperlancar dan memperbaiki akses para komuter. Melebarkan jalan-jalan ke dan dari Kota Surabaya. Apalagi, didukung jaringan transportasi publik yang bagus.
Tapi, untuk yang disebut terakhir itu, tak cukup hanya inisiatif Gus Muhdlor. Alangkah asyiknya kalau transportasi publik untuk para komuter itu langsung ditangani Pemprov Jatim. Biar bisa menjadi legasi yang tak terlupakan dari Gubernur Khofifah Indar Parawansa.
Atau menjadi program bersama wali kota Surabaya, bupati Sidaorjo, dan bupati Gresik yang sama-sama muda. Kolaborasi ketiganya pasti bisa ”memaksa” pusat untuk mewujudkan jaringan transportasi publik untuk komuter yang terintegrasi.
Tapi, tampaknya, perlu juga Gus Muhdlor melakukan penghijauan di sepanjang jalan nasional yang masuk Sidoarjo. Biar mengubah wajah kering menjadi lebih sejuk. Cara cepat untuk menciptakan perubahan. Seperti Tri Rismaharini yang melakukan tamanisasi.
Tidak perlu seluruhnya. Dimulai dari jalan-jalan utama masuk ke Sidoarjo. Jalan masuk perbatasan dengan Mojokerto, Pasuruan, Gresik, dan Surabaya. Kalau perlu, gerakkan semangat gotong royong menghijaukan Sidoarjo. Dengan menggandeng ratusan perusahaan yang ada.
Kalau saja 25 tahun lalu saya tahu akan ada bupati seperti Gus Muhdlor, barangkali saya tak akan memaksa harus berumah di Surabaya. Tapi, kalau saat itu saya memutuskan tinggal di Sidoarjo, barangkali saya tak akan berpengalaman menjadi wakil wali kota Surabaya, hahaha…
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: