Ekonomi Global Masih Penuh Risiko

Ekonomi Global Masih Penuh Risiko

Petugas menata uang baru yang baru keluar dari gudang uang di Bank Indonesia, Surabaya, Jawa Timur.-Julian Romadhon-

SURABAYA, HARIAN DISWAY- ISU resesi menguat begitu memasuki 2023. Pertumbuhan ekonomi global pada tahun ini pun diprediksi melambat. Bahkan, bank sentral telah merevisi prediksinya, dari 2,6 persen menjadi 2,3 persen. 

Penyebabnya hanya dua. Yaitu, resesi yang terjadi di Amerika Serikat (AS) dan Inggris. Namun, harapan selalu ada. Mengingat, pertumbuhan ekonomi Tiongkok pasca pencabutan lockdown belum dihitung.

Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo pun berharap agar pertumbuhan ekonomi global tahun ini tembus 2,8 persen. Optimisme harus terus terjaga di tengah ketidakpastian. Laju inflasi yang awalnya diprediksi tembus 9,8 persen diharapkan melandai menjadi 5,2 persen.

”Kemudian, akan menurun 3,8 persen pada tahun depan. Ini memang laju inflasi yang tidak normal,” jelasnya dalam acara Laporan Transparansi dan Akuntabilitas Bank Indonesia 2023 melalui YouTube Bank Indonesia, Senin, 30 Januari 2023.

Menurutnya, inflasi di negara maju juga masih menjadi momok di tahun ini. Salah satunya, inflasi AS pada 2022 telah mencapai 6,5 persen secara tahunan. Tahun ini diperkirakan turun menjadi 3,1 persen dan 2,5 persen pada tahun depan.

Demikian pula tingkat inflasi di Eropa. Pada 2022 tembus 9,2 persen dan diperkirakan turun menjadi 3,6 persen pada tahun ini, kemudian 2,2 persen pada tahun depan. ”Inflasi masih melekat di seluruh dunia tahun ini. Mungkin baru turun di paruh kedua tahun ini. Paruh pertama masih sulit,” tandas Perry.

Itulah salah satu faktor tingginya tingkat suku bunga dalam waktu cukup lama ke depan. Perry yakin Bank Sentral AS alias The Fed belum akan menurunkan suku bunga acuannya. Baseline suku bunga The Fed tahun ini sekitar 5 persen. Bahkan, bisa bergerak hingga 5,25 persen.

Tentu, tingginya suku bunga acuan bank sentral itu berimplikasi terhadap pergerakan nilai tukar rupiah. BI pun akan membutuhkan banyak devisa untuk melakukan stabilisasi nilai tukar. ”Kita memerlukan portofolio yang matang untuk menangani suku bunga secara global dalam mengelola pasar domestik kita,” tuturnya.

Apalagi, tekanan dolar AS yang masih menguat hingga saat ini. Meski indeks dolar (DXY) tidak tinggi seperti sebelumnya yang pernah mencapai 115 poin, menurut Perry, bagaimanapun uang adalah raja.

Itu mengindikasikan satu hal bahwa para pelaku pasar lebih memilih memegang uang tunai. Dalam hal ini dolar AS. ”Tahun lalu kami memiliki arus modal keluar. Cash is the king. Masih sangat dikedepankan tahun ini,” tuturnya.

Bahkan, Indonesia pun telah dibanjiri dana asing hingga USD 4,8 miliar pada awal tahun ini. Sebuah keuntungan di tengah banyak negara lain yang masih mengalami keluarnya dana asing dari negaranya (capital outflow).

Selain itu, Perry menegaskan bahwa BI tidak akan ragu melakukan intervensi nilai tukar rupiah. Terutama jika terjadi gejolak di pasar keuangan tanah air akibat guncangan ekonomi global. ”Tidak semua permasalahan bisa diatasi dengan hanya satu kebijakan. Karena itulah, inovasi juga dibutuhkan,” tandasnya.

Tentu, nilai tukar rupiah akan dibiarkan melalui mekanisme pasar apabila kondisi kembali normal. Berbagai terobosan juga dipersiapkan dalam stabilisasi nilai tukar rupiah itu. 

Salah satunya, menerbitkan aturan terbaru devisa hasil ekspor (DHE). Aturan itu diberlakukan untuk memobilisasi hasil hingga pengelolaan lalu lintas devisa. ”Demikian juga kami melakukan twist operation,” ucapnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: