Perjuangan Komunitas Penyelamat Kucing Terlantar Surabaya
Beberapa kucing rescue yang sudah sehat kembali dan bisa dilepas adopsi.-Haikal Ismail-
SURABAYA, HARIAN DISWAY - Membantu kesejahteraan kucing jalanan yang terlantar adalah visi misi Komunitas Penyelamat Kucing Terlantar Surabaya (KPKTS). Evi Bintari, founder, menceritakan lika-liku perjuangannya dalam menolong kucing-kucing terlantar di jalanan Surabaya.
Saat itu hampir pukul 1 siang, saat Harian Disway berkunjung ke rumah yang dijadikan sebagai tempat utama kegiatan KPKTS. Di rumah pribadi Evi yang berlokasi di Ketintang, Surabaya. Setumpuk kandang, dua kardus dry food, dan beberapa tempat makan kucing berjajar rapi di teras. Amat terasa suasana sejuknya dengan beberapa tanaman hijau di halaman rumah berpagar hijau itu. Ada sekitar 40 kucing tinggal di situ.
Dengan seekor kucing di pangkuannya. Evi menceritakan perjalanan komunitasnya. Kesukaannya pada hewan lucu yang berbulu dan berkumis ini sudah tumbuh sejak ia kecil. Sebelum mendirikan komunitas sendiri, Evi aktif dalam kegiatan rescue kucing-kucing jalanan yang terluka.
Setahun kemudian, pada 2016, dia mendirikan komunitas rescue kucing pertama di Surabaya. "Kalau komunitas pecinta kucing di Surabaya memang banyak. Tapi yang fokus kepada kegiatan rescue-nya, itu masih belum ada. Jadilah kita bikin wadah," terangnya, pada 6 Februari 2023 lalu.
Semenjak ada ruang baginya dan para rescuer yang lain, kegiatan penyelamatan dilakukan berdasarkan laporan yang dia terima. Lewat media sosial Facebook Group dan Instagram, dia berkomunikasi dengan anggota member yang berjumlah lebih dari 2400 akun.
Evi menjelaskan komunitas ini berjalan secara swadaya. KPKTS jarang sekali membuka donasi. Sebab Evi mengerti bahwa pertanggungjawaban atas dana yang didapatkan sangat serius.
Saat menyelamatkan kucing-kucing terlantar, tak jarang dia mendapatkan kesulitan. "Kalau dari tetangga sih, tidak. Cuma memang masalah kebersihan harus benar-benar diperhatikan. Biasanya kita membayar sendiri tukang sampah untuk membuang kotoran kucing agar tidak menimbulkan bau. Dibersihkannya pun sehari dua kali, pagi dan sore. Main cost kita memang pada maintenance kebersihan itu," jelasnya.
Tak semua dari mereka menyambut dengan baik. Tak sedikit pula yang merasa terganggu dan sinis dengan niat baiknya. Kadangkala, dia harus melalui prosedur yang melibatkan aparat atau pemimpin kelurahan setempat. "Nah itu, yang hasil evakuasi," katanya tersenyum sambil menunjuk salah satu kucing yang ada di teras rumahnya.
"Dia evakuasi yang terjauh, di Lamongan. Sebenarnya di Menganti, Gresik. Jadi pemiliknya ini berpisah, bercerai. Terus pulang ke rumah aslinya di Lamongan, dan kucingnya ditinggal di rumah. Dia terlantar, kelaparan. Kalau sudah kasus begini, susah. Karena kami harus melibatkan aparat untuk bisa dapat izin masuk ke dalam rumah," tuturnya menceritakan proses evakuasi kucing tersebut.
Semenjak dibentuknya komunitas, Evi menyadari penuh bahwa aktivitas dalam komunitas perlu dibatasi. Kegiatan-kegiatan yang dapat berpotensi membahayakan kucing seperti jual beli, breeding, dan pacak (jasa mengawinkan kucing) dilarang sepenuhnya untuk dilakukan. Mengoptimalkan kegiatan utama dari komunitasnya yakni penyelamatan.
Tak hanya rescue, KPKTS juga mengadakan aktivitas-aktivitas lain. "Unit kegiatan kami ada sembilan. Yang pertama rescue itu sendiri, lepas adopsi, ada steril, charity atau bagi-bagi obat dan makanan gratis, tabungan steril untuk member yang keberatan dengan biaya steril, dan open donasi," ucap Vida, anggota rescuer KPKTS. Dua kegiatan lainnya adalah trap neuter release yaitu kegiatan steril bagi kucing-kucing jalanan. Trap treatment release adalah kegiatan pengobatan di tempat untuk kucing-kucing jalanan.
"Di komunitas kami itu ada semboyan 'rescue tanpa steril itu sama dengan hoax'. Rescue ini kan masuk dalam kegiatan menyejahterakan hewan. Ketika kemudian sudah beranak pinak dan kita tidak mampu mengontrol populasinya. Kalau kita tidak mampu menghidupi mereka, sama saja mereka akan kembali terlantar," tegasnya.
Evi berharap pemerintah dapat ikut andil dalam menyukseskan kegiatan ini. "Sebenarnya kami berharap pemerintah dapat ikut turun tangan untuk menangani masalah ini. Karena kucing itu perkembangbiakannya cepat. Jadi kalau tidak dikontrol ia bisa menjadi hama di lingkungan. Sementara biaya steril itu tidaklah murah. Jadi kami berharap pemerintah bisa lebih peduli pada hal ini," katanya.
Lebih dari enam tahun komunitas ini berjalan, Evi berharap agar masyarakat lebih terbuka untuk menerima keberadaan kucing di lingkungan sekitar. Melihat dari angka kekerasan pada hewan, termasuk kucing, tergolong masih cukup tinggi terjadi di Indonesia. "Kalau tidak mampu untuk memberi makan minimal tidak melakukan kekerasan pada kucing. Itu saja sudah cukup," ungkapnya. (Ilal Muthoharoh)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: