Relasi Kuasa di Balik Kekerasan Seksual di PT
PENULIS (empat dari kanan) bersama peserta Seminar Nasional Dies Natalis Ke-47 UNS. -Bagong Suyanto untuk HARIAN DISWAY-
Dalam banyak kasus, sistem patriarki dan kekuasaan gender memainkan peran penting dalam menstimulasi munculnya berbagai tindak kekerasan seksual di perguruan tinggi. Patriarki menciptakan hierarki sosial yang menempatkan laki-laki –terlebih dosen atau kakak kelas yang senior– di posisi yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan perempuan dan memberikan hak-hak istimewa kepada laki-laki.
Hal itu menciptakan ketidaksetaraan gender dan memberikan laki-laki lebih banyak kekuasaan atas perempuan. Pada akhirnya, hal tersebut dapat memperkuat perilaku kekerasan terhadap perempuan –yang dalam hal ini adalah mahasiswi. Tidak sekali dua kali terjadi, dosen, dalam memiliki relasi superordinat, memanfaatkan posisi dirinya untuk menekan korban. Mulai dengan cara halus hingga setengah kasar. Mahasiswi yang tersubordinasi sering kali tidak berani melawan dan memilih menyerahkan diri serta kehormatannya karena ulah dosen cabul yang menekan.
Kekerasan seksual di perguruan tinggi bukan sekadar sebuah masalah individu yang disebabkan hasrat mesum atau nafsu pelaku. Tetapi, juga memiliki kaitan dengan relasi kuasa.
Sebuah studi yang dilakukan Foubert (2014) menunjukkan tindakan kekerasan seksual terjadi karena adanya perbedaan kekuatan antara pelaku dan korban. Bias gender yang melekat dalam masyarakat juga menjadi faktor penting dalam memengaruhi terjadinya kekerasan seksual di perguruan tinggi.
Perguruan tinggi merupakan lingkungan yang kompleks dengan struktur kekuasaan yang rumit. Pada umumnya, struktur kekuasaan di perguruan tinggi didominasi para pria, terutama pada posisi-posisi yang berpengaruh seperti rektor, dekan, dan dosen senior.
Sebuah studi oleh Choate (2019) menunjukkan bahwa tindakan kekerasan seksual terjadi ketika para pelaku menggunakan kekuasaan mereka untuk memaksa korban melakukan tindakan seksual yang tidak diinginkan.
Tidak hanya itu, faktor penting yang memengaruhi relasi kuasa dalam kekerasan seksual di perguruan tinggi adalah adanya budaya rape culture atau budaya pemerkosaan yang dianggap normal dalam lingkungan perguruan tinggi yang tanpa sadar memperkuat relasi kuasa (Blee and Tckner (2015).
Budaya tersebut dapat dilihat dari tindakan-tindakan yang dianggap sepele, seperti guyonan seksual, lelucon tentang pemerkosaan, dan penggunaan kata-kata kasar terkait dengan gender. Walaupun kampus dikenal sebagai tempat bagi para intelektual dan akademisi yang bereputasi, dalam praktik sehari-hari, tidak tertutup kemungkinan terjadi kasus-kasus pelecehan dan tindak kekerasan seksual dalam berbagai bentuk.
Solusi
Menurut Katz (2016), faktor yang memperburuk kekerasan seksual di perguruan tinggi adalah konstruksi sosial tentang maskulinitas. Budaya perguruan tinggi yang menekankan nilai-nilai seperti kejantanan dan kekuasaan dapat mendorong pria untuk berperilaku agresif dan mengabaikan persetujuan dalam hubungan seksual.
Hal tersebut menyebabkan banyak pria merasa sulit untuk memahami bagaimana perilaku mereka dapat merugikan orang lain. Selain itu, kelemahan sistem hukum menjadi faktor yang memperburuk kekerasan seksual di perguruan tinggi. Kebanyakan korban kekerasan seksual tidak melapor karena takut tidak dipercaya atau takut dirugikan. Kehilangan kepercayaan pada sistem hukum menyebabkan korban kekerasan seksual merasa bahwa mereka tidak memiliki pilihan selain berdiam diri.
Solusi untuk mengatasi kekerasan seksual di perguruan tinggi melibatkan upaya untuk mengubah budaya perguruan tinggi dan memperkuat sistem hukum. Kilmartin (2016) menyarankan bahwa meningkatkan norma-norma prososial dapat membantu mengurangi kekerasan seksual. Hal itu mencakup mengembangkan pemahaman tentang kesetaraan gender dan menumbuhkan rasa tanggung jawab di antara mahasiswa untuk melindungi satu sama lain.
Selain itu, memperkuat sistem hukum untuk memberikan perlindungan kepada korban kekerasan seksual dan menuntut pertanggungjawaban pelaku juga penting. Menurut Tjaden & Thoennes (2006), upaya seperti meningkatkan keterampilan penyidikan dan penuntutan, meningkatkan akses ke layanan kesehatan mental, dan mengembangkan program pencegahan di perguruan tinggi dapat membantu mengatasi kekerasan seksual. (*)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: