Soe Tjen Marching dan Fakta Gerakan 1 Oktober 1965: Polemik Dua Sisi (6)

Soe Tjen Marching dan Fakta Gerakan 1 Oktober 1965: Polemik Dua Sisi (6)

Soe Tjen Marching yang focus sebagai akademisi sekaligus dikenal sebagai aktivis yang getol dalam menyuarakan seputar gerakan 1 Oktober 1965.-Elvina Talitha-

HARIAN DISWAY - Institusi pendidikan tempat Soe Tjen Marching belajar selalu menggaungkan kepahlawanan Soeharto. Sebaliknya, di rumah, Oei Lian Bing, papa Soe Tjen mengutuk Presiden kedua RI itu. Dua sisi yang saling bertolak belakang itu kerap diterima Soe Tjen sejak kecil.

 

Pelajaran sejarah Indonesia, pendidikan kewarganegaraan dan pelajaran sejenisnya, pada era Orde Baru, tak pernah lepas dari kisah tentang Gerakan 1 Oktober 1965. Betapa terkutuknya komunis, atas kekejaman dan pemberontakan yang mereka lakukan pada masa itu.

 

Pengajar di sekolah Soe Tjen Marching, tak henti-hentinya menggaungkan kepahlawanan Soeharto. Ia seorang penyelamat, yang mampu membinasakan komunis sampai ke akar-akarnya. Membebaskan semua orang dari rongrongan kaum yang disebutnya anti-Tuhan.

 

"Propaganda Orde Baru ada dalam sistem pendidikan ketika itu. Saya dicekoki itu semasa sekolah. Bahwa komunis itu pengkhianat, jahat, iblis dan sebagainya," ujar Soe Tjen.

 

Namun, dia melihat hal yang bertolak belakang ketika sedang di rumah. Sisi lain itu didapat dari polah tingkah papanya, Oei Lian Bing, ketika di rumah. Ia merupakan eks tapol, bagian dari organisasi yang dilarang oleh Orde Baru, karena dianggap terlibat dalam pembunuhan para jenderal, pada 1 Oktober 1965.

 

Soe Tjen masih ingat, ketika masih kecil dan tinggal di Jalan Putro Agung, Surabaya, keluarganya memiliki televisi kecil yang ditempatkan di ruangan tengah. Pada masa itu, channel yang ada hanyalah TVRI. Di sela hiburan, selalu ada tayangan wajib: kegiatan yang dilakukan Soeharto atau pidato penguasa Orde Baru itu.

 

Bahkan kegiatan memancing Soeharto pun ditayangkan secara live di TVRI. Di rumah Soe Tjen, setiap kali melihat televisi dan muncul wajah Soeharto, tiap kali pula papanya berang. "Berteriak-teriak mengutuk. Soeharto itu jahat!. Lalu bertingkah seperti orang gila. Berkali-kali seperti itu ketika melihat wajah Soeharto di televisi," ujarnya.

 

Papanya juga menyebut bahwa Soeharto antek Amerika Serikat. Perampok negara dan sebutan-sebutan negatif lainnya. Perilaku itu pun membuat Soe Tjen bertanya-tanya. Mengapa citra Soeharto di mata papanya berbeda dengan citra yang diceritakan di sekolah? 

 

Pada suatu ketika, papanya pernah berteriak lantang, bahwa komunis, sebenarnya bukan seperti yang dituduhkan Orde Baru. Ia juga pernah meneriakkan bahwa komunisme sebenarnya adalah usaha atau ilmu untuk mengatur pergaulan hidup. 

 

Supaya dalam pergaulan hidup itu, orang-orangnya jangan ada yang memeras satu sama lain. Di kemudian hari, kata-kata itu diketahui adalah sebuah kutipan dari Semaoen tentang definisi komunis.

 

Di sekolah, diceritakan bahwa agama itu mengajarkan orang untuk hidup baik. Orang yang berdosa akan dikirimkan Tuhan ke dalam neraka untuk selamanya. Berbeda dengan komunis yang ateis. Karena tak percaya Tuhan, apalagi melakukan pemberontakan, penganut komunis akan masuk neraka. 
Soe Tjen Marching, bungsu dari empat bersaudara. Mendapat informasi dari mamanya, Yuliani, tentang kejadian pahit '65. -Soe Tjen Marching-

 

Tapi Bing tak sependapat dengan itu. "Komunis itu ideologi. Tak seperti yang dituduhkan. Ideologi yang baik, dan jangan pernah bertanya mengapa. Begitu katanya," tuturnya. 

 

Sejauh itu, Soe Tjen memang tak pernah bertanya pada papanya. Tak sekali pun dia berkomentar. Apalagi menyanggah. Karena tabiat Bing sangat keras. Dia tak berani. Perangainya begitu temperamental. Apalagi usai melihat wajah Soeharto atau mendengar berita tentang propagandanya.

 

"Hingga waktu kecil, kalau melihat papa saya datang ke rumah saja, tubuh saya sudah bergetar," ungkap perempuan kelahiran Surabaya, 1971 itu. Maka, dia hanya mendengar cerita masa lalu dari mamanya seorang. Ketiga kakaknya pun menutup rapat-rapat apa yang mereka ketahui.

 

Saat dua hal yang bertolak belakang itu diterima saat kecil hingga remaja, apa yang ada dalam benak Soe Tjen? "Saya sempat terpengaruh provokasi Orde Baru. Saya pernah membenci papa saya, karena papa pernah dipenjara. Papa saya seorang komunis dan itu hal yang buruk sekali," ujarnya.
Poster film Pengkhianatan G30S/PKI karya Arifin C Noor yang sempat mempengaruhi persepsi Soe Tjen Marching terhadap papanya.-istimewa-

 

Apalagi saat kecil, televisi selalu memutar film Pengkhianatan G30S/PKI besutan Arifin C Noor. Film yang kabarnya dibuat untuk membangun citra buruk bagi kaum komunis. Soe Tjen sempat terpesona dan ikut larut dalam propaganda itu. "Ya, saya ingat. Film-film Arifin itu bagus dan sangat menyentuh. Tetapi di kemudian hari saya tahu bahwa itu film propaganda," ungkapnya.

 

Dalam film itu dikisahkan bahwa komunis membantai orang tak bersalah di masjid, para Gerwani menari sambil mencongkel mata para Jenderal, komunis mengamuk merusak rumah-rumah penduduk dan beragam kekejaman lainnya.

 

Dari film itu pula, muncul kebencian Soe Tjen kepada papanya sendiri. "Arifin C Noor membuat saya bertanya, apakah papa saya waktu itu melakukan kekejaman serupa? Tapi saya tak berani bertanya pada papa. Lalu saya menyimpulkan sendiri bahwa penangkapan itu pantas. Karena papa orang kiri," ujarnya.
Soe Tjen Marching yang fokus sebagai akademisi sekaligus dikenal sebagai aktivis yang getol dalam menyuarakan seputar gerakan 1 Oktober 1965.-Soe Tjen Marching-

 

Itulah. Bila orang tua tak pernah terbuka terhadap kondisi sebenarnya pada anak, maka anak akan membuat kesimpulan sendiri.  

 

Di meja makan di rumahnya, di Jalan Putro Agung, air mata Soe Tjen jatuh. Dia tampak menyesal. "Saya takut. Saya benci dengan papa waktu itu. Kebencian itu akibat propaganda Orde Baru," ungkapnya. (Heti Palestina Yunani-Guruh Dimas Nugraha)

 

BACA BERIKUTNYA: Soe Tjen Marching dan Fakta Gerakan 1 Oktober 1965: Tiga Versi tentang Bing (Seri 7)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: