10 Mei, Belanda Peringati Invasi Jerman
Pendaratan pasukan terjun payung Jerman di polder Tedingerbroek, sebelah timur Den Haag, terlihat dari distrik Bezuidenhout Den Haag.-https://nl.m.wikipedia.org/wiki/Slag_om_Den_Haag-wikipedia.org
SURABAYA - HARIAN DISWAY - Slag om Nederland. Begitu orang Belanda mengenang pertempuran invasi Nazi Jerman ke negara mereka, yang terjadi pada 10 Mei 1940, 83 tahun silam.
Pemicu Perang Dunia II menyalak ketika Jerman menyerbu Polandia, yang kemudian tentara di bawah kendali Adolf Hitler itu mengarahkan moncong senapannya ke Belanda. Sejak itulah Belanda terseret dalam pusaran perang yang diikuti dua blok besar itu.
Dalam berbagai sumber, pada Jumat pagi, seorang pemantau udara menyaksikan pesawat tempur Luftwaffe Jerman terbang ke utara. Namun berbalik ke arah Belanda. Dari situ serangan dimulai. Rotterdam luluh lantak.
Perang berkobar selama lima hari. Ratu Wilhellmina dan keluarga kerajaan Belanda mengungsi ke Britania. Belanda pun menyerah pada Jerman. Tentara Hitler menguasai Negeri Kincir Angin sejak Mei 1940 dan berakhir pada Mei 1945.
Maka jika Belanda berada di bawah kekuasaan Jerman, secara logika pada tahun tersebut, pemerintah kolonial yang berada di Indonesia berada di bawah kekuasaan Jerman pula.
Mungkin tak salah jika menyebut bahwa Indonesia pernah dijajah oleh Jerman. Sebab, sejak 1940, kekuasaan atas nama Belanda tak berlaku. Hingga kemudian pada 1943, Jepang mengambil alih sepenuhnya wilayah Indonesia.
Bagaimana respons masyarakat Hindia Belanda ketika itu terhadap peristiwa invasi Jerman? Surat dari BJ Bijkerk, asisten perawat dari Gemeente Ziekenhuis Juliana yang kini menjadi RS Hasan Sadikin Bandung mengungkap banyak hal.
Saat penyerbuan, masyarakat memenuhi masjid-masjid untuk berdoa demi keselamatan rakyat Belanda. Mangkunegara VII, Raja Kadipaten Mangkunegaran Surakarta, melakukan kirab khusus untuk mendoakan keselamatan Ratu Wilhellmina.
Setahun setelahnya, warga di Hindia Belanda, tak peduli warga kolonial atau pribumi, beramai-ramai mengumpulkan dana. Dari Sumatera hingga Ambon, yang sejatinya juga hidup serba kekurangan, menyisihkan sedikit yang mereka punya demi pemerintah kolonial. Hingga Bijkerk dalam catatan itu menulis: Jarang ada rasa persatuan yang sedemikian eratnya.
Saat itulah papan-papan bertuliskan Verboden voor honden en Inlander, yang bermakna "Terlarang bagi pribumi dan anjing" mulai menghilang. Peristiwa itu memunculkan rasa kebersamaan tanpa pandang siapa.
Meski begitu, dana yang terkumpul tak cukup bagi Belanda untuk menguatkan sistem pertahanan dan militer mereka. Semua percuma. Terlebih, mereka semakin terpuruk setelah Jepang melakukan serbuan ke Hindia Belanda pada 1943. (Guruh Dimas Nugraha)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: