Kolam Susu dan Ekspor Pasir

Kolam Susu dan Ekspor Pasir

Ilustrasi ekspor pasir.--

BUKAN lautan hanya kolam susu, kail dan jala cukup menghidupimu, tiada topan tiada badai kau temui, ikan dan udang menghampiri dirimu”.

Potongan lirik lagu Kolam Susu dari Koes Plus itu sangat populer bagi ”generasi kolonial” era 1970 dan 1980-an. Lagu itu adalah glorifikasi kekayaan alam Indonesia yang serba-subur dan serba melimpah.

Lautnya seperti kolam susu. Kail dan jala sudah bisa menghidupi nelayan sepanjang tahun. Ikan-ikan di laut berlimpah seolah berebut mendatangi nelayan. Tongkat dan kayu jadi tanaman. Itulah gambaran tanah surga dalam versi Koes Plus.

Kalau Koes Plus masih ada, mungkin mereka akan merevisi lagu itu dan menambahi satu bait lagi ”pasir pun laku untuk diekspor”.

Indonesia memang negara kaya raya. Bukan hanya sumber daya alam dan hutan yang laku dijual untuk ekspor, pasirnya pun laku utuk diekspor. Itulah sebabnya, Presiden Jokowi tidak tahan melihat pasir yang berlimpah telantar begitu saja. Ia memerintahkan pasir itu untuk dikeruk dan dijual sebagai komoditas ekspor.

Ekspor pasir sudah distop 20 tahun sejak Megawati menjadi presiden. Namun, sekarang Jokowi membatalkan keputusan itu. Para pemerhati lingkungan sangat mengkhawatirkan dampak buruk dari kebijakan tersebut terhadap kerusakan lingkungan. Namun, Jokowi jalan terus.

Dunia sudah berhasil selamat dari bencana global akibat pandemi Covid-19. Bill Gates meramalkan bahwa bencana global berikutnya yang mengancam dunia adalah bencana lingkungan. Saat pandemi terjadi, banyak yang tidak siap mengantisipasi pagebluk global itu. Bencana lingkungan akan terjadi mirip dengan pandemi. Jauh hari sudah diperingatkan, tetapi tidak banyak yang peduli.

Penambangan pasir untuk ekspor itu dikhawatirkan akan merusak lingkungan dan membawa dampak yang sangat luas. Cara pembangunan yang ceroboh akan menjadikan bumi menjadi tempat yang tidak layak ditinggali. The Inhabitable Earth (Bumi yang Tidak Layak Ditempati) seperti yang ditulis wartawan senior Amerika Serikat (AS) David Wallace Wells.

Wells menyebutkan bahwa segala hal yang terjadi saat ini merupakan tujuan maupun dampak dari tindakan manusia untuk mengolah bumi demi kepentingannya. Itulah yang disebut sebagai ”antroposen” yang menjelaskan manusia sebagai penguasa dan pengendali segala hal di muka bumi beserta segala yang berada di dalamnya.

Ancaman paling utama adalah pemasanan global. Kenaikan suhu dunia 1 derajat akan membawa perubahan alam yang meluas. Mulai banjir sampai kebakaran hutan dan penyakit menular. Kenaikan suhu bumi 5 derajat akan membuat bumi menjadi tempat yang tidak bisa ditinggali lagi. Permukaan air akan naik dari tahun ke tahun karena pemanasan global

Kota-kota yang berada di tepi pantai terancam tenggelam, berakibat banyaknya pengungsi ke daerah yang lebih tinggi dan aman. Itu menyebabkan urbanisasi akan merambah ke hutan dan area pelindung.

Jumlah manusia yang terus bertambah mengakibatkan kita mulai berlomba-lomba mengambil cadangan air dalam tanah atau akuifer. Akuifer tidak dapat cepat pulih dan memerlukan jutaan tahun untuk terbentuk. Tinggal tunggu waktu akuifer bakal habis tidak tersisa.

Pandemi Covid-19 yang disusul dengan munculnya berbagai penyakit aneh lainnya tidak tertutup kemungkinan terjadi karena ada hubungannya dengan pemanasan global dan kecerobohan pengelolaan lingkungan. Melelehnya lapisan es di Antartika bisa melepaskan berbagai virus yang sudah terpendam selama ratusan tahun menjadi penyakit baru yang sulit diatasi.

Bumi yang makin panas membuat manusia butuh untuk mendinginkan diri untuk hidrasi tubuh. Sebab, ginjal kita bisa rusak ketika dehidrasi. Tidak ada pilihan lain kecuali menggunakan pendingin udara atau AC. Pendingin udara saat ini sudah memakan 10 persen dari penggunaan listrik dunia, yang emisi karbonnya berkontribusi terhadap bertambah panasnya udara. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: