ODGJ Dibunuh Anak-Remaja Diduga Gila
ILustrasi ODGJ diikat, disekap, lalu dibakar di Lebak, Banten.--
Atas perbuatannya, pelaku dijerat Pasal 170 ayat 2 dan Pasal 351 ayat 3 KUHP dengan ancaman penjara maksimal 17 tahun.
Wiwin: ”Rencananya kami dari Satreskrim Polres Lebak berkoordinasi dengan UPT PPA dan Psikologi untuk mengecek kejiwaan pelaku.”
Polisi merasa, ada yang tidak normal pada kejiwaan para pelaku. Tindakan mereka sangat sadis. Tak terbayangkan dilakukan oleh anak dan remaja seusia mereka. Tapi, para pelaku tetap ditahan.
Apakah yang membuat para tersangka bisa sekejam itu?
Tiga kriminolog Amerika Serikat, yakni C.K. Mcknight, J.W. Mohr, dan J. Erochko, dalam karya mereka berjudul Mental Illness and Homicide (1966), meneliti pembunuhan yang pelakunya anak dan remaja.
Mereka meneliti sembilan anak dan remaja pembunuh, dibandingkan dengan 24 anak dan remaja yang tidak pernah melakukan kejahatan. Dilakukan riset komparasi pada mereka.
Mereka melakukan riset karakteristik biopsikososial yang mencakup gejala psikosis, gangguan neurologis utama, kerabat tingkat pertama psikosis, tindakan kekerasan selama masa kanak-kanak, dan penganiayaan fisik yang parah.
Hasil akhirnya, 77 persen didiagnosis psikiatri sebagai pengidap skizofrenia. Bentuknya paranoid, manik depresi, kepribadian psikopat, dan epilepsi.
Penyakit jiwa itu tidak berbentuk seperti orang gila (ODGJ). Bukan orang gila yang telanjang atau bicara gak nyambung. Bukan. Mereka tampak normal. Namun, kondisi kejiwaan mereka terganggu.
Riset tersebut tidak mendalami penyebab anak dan remaja pembunuh itu bisa jadi begitu. Cuma, disimpulkan, masa lalu anak-anak itu (yang 77 persen) kelam. Bisa karena penyiksaan di masa kecil. Pelecehan fisik dan psikologis. Juga, pengabaian orang tua atau wali.
Korelasi antara masa lalu mereka yang kelam dan tindakan kekejaman mereka di masa remaja adalah hasil rekaman bawah sadar mereka di masa lalu. Otomatis muncul dalam bentuk tindakan brutal.
Hasil riset itu menyarankan, 55 persen dari para pelaku yang skizofrenia tidak layak diadili. Dan, 27 persen dinyatakan tidak bersalah dengan alasan gila. Studi itu, bagaimanapun, condong oleh fakta bahwa sampel diambil dari rumah sakit penjara.
Setahun kemudian, 1967, Marvin E. Wolfgang dan Franco Ferracuti menerbitkan hasil riset mereka yang bertajuk The Subculture of Violence: Towards an Integrated Theory in Criminology (New York, 1967). Mereka membantah hasil riset di atas.
Hasil riset Wolfgang dan Ferracuti meneliti pembunuh anak dan remaja di penjara Philadelphia, 1967, yaitu hanya 3 persen pembunuh yang berusia anak dan remaja di penjara Philadelphia yang gila.
Dua riset yang cuma beda setahun itu membingungkan para penegak hukum di sana. Sebab, hasil riset para akademisi tersebut selalu dijadikan rujukan para pegak hukum di sana. Satu pihak mengatakan pelaku gila, pihak lain menyatakan tidak.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: