Sandurrellang, Tradisi 1 Muharram di Jember (1): Warga Berzikir di Bhujuk Taka
Reporter:
Guruh Dimas Nugraha|
Editor:
Heti Palestina Yunani|
Jumat 21-07-2023,22:20 WIB
Suasana menjelang pelaksanaan Sandurrellang di Desa Klungkung, Sukorambi, Jember. Mereka mengitari Bhujuk Taka, leluhur desa.-Julian Romadhon-
JEMBER, HARIAN DISWAY - Desa Klungkung di Jember memiliki tradisi unik. Yakni sandurrelang. Berbeda dengan sandur di Madura. Mereka melakukan ritus itu untuk menghormati leluhur. Ungkapan syukur sekaligus harapan untuk mengarungi satu tahun ke depan.
Jember. Salah satu daerah tapal kuda di Jawa Timur yang mengemban budaya Pandalungan. Mendiang Profesor Ayu Sutarto pernah menulis budaya tersebut dalam bukunya: Pemetaan Kebudayaan Jawa Timur.
Pandalungan (dalung, wadah besar) mirip seperti konsep budaya melting pot. Yakni tempat bertemunya berbagai manusia dengan latar budaya berbeda-beda. Sehingga menghasilkan identitas budaya baru. Begitulah wajah Jember dan daerah-daerah lain yang terletak di kawasan tapal kuda: Pasuruan, Probolinggo, Situbondo, Lumajang, dan Bondowoso.
Kondisi lahan yang subur membuat karakter masyarakatnya bersifat komunal. Ramah, rukun, adem. Itu yang tampak pada perayaan 1 Muharram, tahun baru Islam yang jatuh pada Kamis, 20 Juli 2023. Desa Klungkung di Kecamatan Sukorambi.
Desa kecil yang asri itu punya tradisi khusus: sandurrellang. "Dari kata sandur dan rellang. Sandur itu tradisinya. Berkumpul dengan para kawan dan kerabat laki-laki. Sedangkan tellang, artinya sebuah pesan. Supaya manusia selalu mengingat bahwa kelak ia akan kembali ke asalnya," ujar Baburrahman, pembina kelompok seni tradisi sandurrellang.
Baburrahman (kiri) memberi sambutan jelang pelaksanaan sandurrellang di Desa Klungkung. -Julian Romadhon-
Sandurrellang digelar setiap 1 Muharram. Baburrahman menyebutkan bahwa sandur di desanya berbeda dengan sandur di Madura atau dari daerah lain seperti Tuban dan Bojonegoro. "Sandur di Madura biasanya dilakukan untuk menyambut musim panen. Bersyukur atas hasil yang diterima. Kemudian berdoa dan berharap supaya hasilnya baik untuk tahun depan," katanya.
Sedangkan sandurrellang di Klungkung, Jember, dilakukan turun-temurun. Fungsinya untuk menghormati leluhur babat alas serta ungkapan syukur atas berkah yang diberikan Allah selama satu tahun penuh. "Leluhur yang membuka pemukiman atau babat alas kampung Klungkung dan sekitarnya bernama Taka. Katanya orang Arab yang datang ke sini. Selain itu, beliau menyebarkan agama Islam," ungkapnya.
Maka tradisi sandurrellang di Klungkung selalu berlangsung di bhujuk atau makam leluhur yang dituakan. "Ya seperti sekarang ini. Dilakukan di bhujuk Taka, atau makam leluhur Taka," tambah pria 56 tahun itu.
Aneka makanan yang disajikan di area bhujuk Taka. Makanan itu dibagikan untuk semua orang. -Julian Romadhon-
Lokasi makam itu berada di Desa Klungkung. Lereng Gunung Argopuro. Jaraknya kurang lebih 15 menit dari pusat Kota Jember. Kontur daerahnya perbukitan yang sangat subur. Pohon-pohon rimbun dan perkebunan warga menghiasi kanan-kiri jalan sebelum masuk ke desa.
Akses lebar jalannya hanya cukup untuk satu mobil. Sehingga jika terjadi dua mobil yang datang dari arah berlawanan, salah satunya harus mengalah. Menepi sejenak untuk memberi kesempatan.
Sebelum sampai di makam, jalanan terus menanjak. Pohon-pohon jati, ketapang, dan karet ada di sekitar situ. Bhujuk Taka ada di kontur tanah yang menonjol. Lebih tinggi dari akses jalan. Pada 19 Juli, ratusan masyarakat berkumpul di kompleks makam itu. Duduk dan berzikir. Banyak di antara mereka yang membawa anak-anak.
"Saat tradisi sandurrelang, semua warga berkumpul di sini. Termasuk kerabat yang ada di luar kota. Jadi ini bisa dianggap sebagai momen keakraban. Silaturahmi," ujar Hendy Agusdianto, salah seorang anggota Komunitas Kebudayaan Klungkung.
Para warga duduk dan berbincang di tanah kompleks makam tersebut. Melingkari bhujuk Taka yang terlihat paling bagus. Ditata dengan keramik serta dibuat lebih tinggi dari makam lainnya. Dalam bhujuk Taka, terdapat enam makam lain yang dipercaya adalah istri serta anak-anak mendiang Taka.
Makam Taka berada tepat di tengah. Di sisi pusaranya terdapat sesaji yang diletakkan dalam wadah daun pisang. Ada pula dupa di situ. Nisannya masih menggunakan batu andesit. Bukan nisan modern pada umumnya. "Masih asli. Dari dulu tidak pernah diganti. Sebagai penanda bahwa Eyang Taka adalah leluhur kampung kami," ungkap kepala sekolah SDN 3 Klungkung itu.
Para penari Sandurrellang berjumlah 27 orang. Sebagai pembeda dengan warga biasa, mereka mengenakan busana putih dengan motif batik cokelat. Ditambah dengan udeng atau penutup kepala khas Jember. Busana tersebut diberikan oleh Alit Indonesia. Yakni lembaga yang bergerak di bidang pemberdayaan anak, potensi desa serta pertanian permakultur.
Pemimpin ritus Sandurrellang bernama Seniman. Sebenarnya pemimpin tradisi itu berlangsung secara turun-temurun dan mendapat ilham melalui mimpi. "Jadi lewat mimpi, setiap pemimpin mendapat mantra yang harus diucapkan ketika bermain sandur," ungkap Baburrahman.
Para pelaku kesenian Sandurrellang mengenakan busana putih bermotif cokelat dan udeng Jember. Pemberian dari Yayasan Alit Indonesia. -Julian Romadhon-
Namun, Seniman adalah ipar dari pemimpin sebelumnya, generasi keenam. Karena telah lanjut usia, generasi keenam bernama Suyud itu sudah tak mampu lagi memimpin upacara. Tepatnya sejak 2019. Maka sejak itu hingga 2021, sandurrelang praktis vakum. Warga hanya melakukan ziarah bersama saat 1 Muharram.
Seniman, warga asli Madura itu tergerak untuk menjadi pemimpin sandurrelang. Ia tak memperoleh ilham lewat mimpi. Tapi belajar tekun dengan generasi sebelumnya, Suyud. Dari Suyud ia dipandu menghapal dan merapal mantra. Bahasa yang digunakan adalah bahasa yang tak lazim. Tak bisa dimengerti siapa pun kecuali oleh pemimpin itu sendiri. (Heti Palestina Yunani-Guruh Dimas N)
Indeks: Menikmati nasi paes sebagai pengingat manusia kembali ke asal, baca besok...
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: