Jihad dan Perjuangan Santri di Kota Pahlawan
Ilustrasi perjuangan santri di Kota Pahlawan Surabaya. -Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
SETIAP peringatan Hari Pahlawan 10 November, Surabaya selalu diingat dengan perjuangan arek-arek Suroboyo dalam melawan sekutu, termasuk Belanda. Maka, tidak heran Surabaya sering dijuluki sebagai Kota Pahlawan karena memiliki sejarah panjang sebagai kota perjuangan.
Terkenal dengan semangat perlawanannya, Surabaya telah menjadi tempat para pejuang dan santri memainkan peran penting dalam menentang penjajah. Kota itu layak juga disebut sebagai ”Kota Perjuangan santri” karena kontribusi besar dari kelompok santri dalam perjalanan sejarahnya.
BACA JUGA:Refleksi Hari Pahlawan 10 November 2023: Pahlawan Penjaga Asa
BACA JUGA:Spirit Hari Pahlawan: Surabaya dan Gaza, Dua Kota yang Tak Pernah Menyerah
Sayang, tidak banyak yang mengetahui peran santri dalam perjuangan perang revolusi di Surabaya. Buku-buku sejarah umum maupun pelajaran sejarah saat ini jarang mengulas peran santri dalam peristiwa revolusi Surabaya 1945.
Oleh karena itu, masih dalam momen peringatan Hari Pahlawan tahun ini, tanpa mengecilkan peran arek-arek Suroboyo dan para pejuang yang selama ini telah disebut dalam buku sejarah, perlu kiranya juga memberikan tempat sama untuk kelompok santri sebagai bagian dari perjuangan revolusi Surabaya 1945.
Pada 1945, Surabaya memainkan peran kunci dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Terutama yang terkenal adalah ”Peristiwa 10 November 1945” yang melibatkan pertempuran hebat antara rakyat-tentara Indonesia dan pasukan Inggris.
BACA JUGA:Capres-Cawapres Membincang Kedaulatan Pangan
BACA JUGA:Vaksin Dalam Negeri; Pahlawan Melawan Pandemi
Di tengah konflik tersebut, banyak santri yang turut dalam pertempuran untuk membela tanah air mereka. Mereka menjadikan Surabaya sebagai benteng pertahanan terakhir melawan pasukan penjajah.
Selama periode perang kemerdekaan, banyak santri dari berbagai pesantren di Jawa Timur yang bergabung dalam barisan perjuangan yang dikenal dengan Laskar Hizbullah dan Barisan Sabilillah.
Mereka tidak hanya berperan dalam pertempuran fisik, tetapi juga menjadi pilar moral dan spiritual bagi pejuang. Santri membantu menjaga semangat perlawanan, memberikan dukungan moral, dan merawat para pejuang yang terluka.
Pesantren-pesantren di Surabaya menjadi tempat berkumpulnya para pejuang. Pendidikan agama dan nilai-nilai yang diajarkan di pesantren menjadi landasan moral bagi para pejuang dalam berperang. Itu adalah contoh konkret bagaimana perjuangan fisik dan perjuangan moral dapat bersatu demi kemerdekaan.
Sekitar dua pekan sebelum pertempuran 10 November 1945 terjadi, PBNU mengeluarkan Resolusi Jihad Fii Sabilillah, tepatnya pada 22 Oktober 1945. Resolusi Jihad itu dikeluarkan karena banyaknya bentrok fisik yang terjadi di Surabaya maupun Indonesia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: