Seni Politik Hospitalitas: Berdemokrasi Tanpa Kegaduhan dan Kebencian

Seni Politik Hospitalitas: Berdemokrasi Tanpa Kegaduhan dan Kebencian

Dhimas Anugrah, Ketua Circles Indonesia (komunitas pembelajar di bidang budaya, filsafat, dan sains.-Salman Muhiddin/Harian Disway-

Konfusius mendorong setiap orang bersikap ramah kepada orang lain ketika hal ini tidak bertentangan dengan kewajiban moralnya terhadap keluarga atau atasan langsung. 

Bersikap ramah adalah kebajikan, dan peradaban manusia dilestarikan oleh sikap hospitalitas tersebut. 

Dari tradisi Buddhisme dan ajaran Konfusius dapat dilihat bahwa bersikap ramah terhadap sesama merupakan sikap yang mulia, bahkan berelasi erat dengan “yang Ilahi.” 

Pada tahun 1996, Jacques Derrida dalam sebuah seminar pernah membahas hospitalitas dari dialog Platon yang berjudul The Sophist

Derrida menceritakan sikap ramah Socrates terhadap seorang pengunjung di kota Athena yang berasal dari Elea, Italia selatan. Socrates mengungkapkan rasa senangnya bertemu dengan orang asing itu, meski mereka berbeda suku maupun negara. 

Hospitalitas sang filsuf menjadi kunci dari awal simbiosis mutualisme keduanya. Socrates ingin mendengar pandangan orang Elea itu dengan harapan mereka dapat saling mengasah perspektif baru tentang filosofi.

Sementara dalam tradisi Kristiani, hospitalitas merupakan tindakan mengasihi orang lain seperti Yesus dan menyambut mereka ke dalam keluarga Sang Khalik (Matius 25:40). 

Keramahan adalah tentang mengundang orang lain menjadi bagian dari keluarga-Nya. Hal ini didasarkan pada sikap Sang Pencipta yang memanggil semua orang pilihan ke dalam Kerajaan-Nya melalui Roh Kudus dan anugerah-Nya (Yohanes 16:8; Efesus 2:8–9). Mereka yang bertobat dari dosa-dosa dan percaya kepada Yesus akan menjadi anak-anak Allah (Yohanes 1:12). 

Jika pemahaman ini diaplikasikan dalam tanggung-jawab politik sebagai warga negara, maka di dalam partisipasi politiknya setiap orang diundang mempraktikkan kewajiban politik tersebut dalam semangat kebaikan dan keramahan.

Tentu, masih ada lagi contoh-contoh dari tradisi lainnya, tapi semoga metafora hospitalitas dari berbagai tradisi di atas sudah cukup menolong masyarakat modern tentang bagaimana seseorang bersikap dalam partisipasi politiknya di ranah publik. 

Setidaknya ada dua hal yang bisa dipetik. Pertama, metafora hospitalitas memuat sifat keilahian. Kedua, hospitalitas melahirkan keharmonisan hidup bersama. Jika Sang Ilahi itu baik dan ramah, maka sudah selayaknya setiap orang menerapkan laku hidup yang ramah pula, baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam praktik politiknya.

Adil dan Beradab yang Berwujud Hospitalitas

Keharmonisan hidup bersama yang lahir dari hospitalitas pun sejalan dengan roh Pancasila yang merupakan perasan filosofi masyarakat Nusantara sejak ribuan tahun lalu. 

Sila "Kemanusiaan yang Adil dan Beradab” ialah ajakan bagi kita untuk menyadari bahwa kehidupan manusia Indonesia tidak hanya untuk diri sendiri, tetapi berinteraksi dalam komunitas. 

Melalui perjumpaan dengan orang lain dalam ranah publik itulah kita dapat belajar menerapkan cara hidup yang ramah, termasuk dalam pesta demokrasi seperti Pemilu 2024 mendatang. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: