Jubir AMIN: Dengan Contract Framing, Risiko Gagal Panen Petani Bakal Ditanggung Negara

Jubir AMIN: Dengan Contract Framing, Risiko Gagal Panen Petani Bakal Ditanggung Negara

Reiza menyimpulkan bahwa kesehteraan petani bisa dijamin dengan program contract farming atau pertanian dengan perjanjian dari program kerja pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar jika mereka terpilih menjadi presiden dan wakil presiden RI. -AMIN-

Namun begitu, upah nominal buruh tani di bawah upah nominal buruh bangunan (bukan mandor). Per Desember 2022, upah nominal buruh tani sebesar Rp59.226/hari sedangkan buruh bangunan (bukan mandor) Rp94.072.

"Contract farming ini juga bisa mengangkat derajat mereka yang sebelumnya buruh tani. Negara bisa memberikan lahan yang berasal dari lahan negara dengan sertifikat hak garap selama 5-10 tahun atau bisa juga lebih selama dimanfaatkan untuk produksi pertanian," katanya.

"Sehingga buruh tani bisa menjadi petani yang lebih baik karena memiliki lahan sebagai aset untuk digarap dan bisa dijadikan agunan untuk memperoleh modal kerja yang lebih baik serta biaya hidup selama belum panen,” ujar Reiza. 

Reiza kemudian menyinggung PP Nomor 12 Tahun 2023 tentang Pemberian Perizinan Berusaha, Kemudahan Berusaha dan Fasilitas Penanaman Modal Bagi Usaha di Ibu Kota Nusantara (IKN).

"Jangan seperti tawaran Pemerintahan Jokowi ini untuk investor di IKN. Jelas kita melihat bahwa aturan itu cuma menguntungkan investor. Bayangkan saja, investor bisa kantongi HGU 190 tahun, tapi untuk petani yang setiap hari menyediakan makanan untuk kita masa negara tidak bisa? Logikanya di mana coba?" sindir Reiza. 

“Atau misalnya area senayan itu. Mal, hotel, gedung perkantoran, banyak berdiri dengan Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) di atas lahan negara, dalam hal ini Sekretariat Negara. 

“Ironinya adalah bahwa negara bisa memberikan hak pengelolaan atas tanah negara kepada pengusaha besar dan konglomerat, tapi begitu berat dan seperti pelit sekali untuk rakyat miskin, khususnya petani. Praktik seperti ini sudah harus dilakukan Perubahan signifikan,” tambahnya.

“Jadi kalau memang negara ini punya niat untuk mampu membangun kedaulatan dan kemandirian pangan, maka sudah mesti memuliakan petani Indonesia. Berikan kebutuhan menanam yang cukup seperti pupuk, obat tanaman, infrastruktur pertanian, penyuluh pertanian yang tersedia dan aktif turun ke lapangan, hingga lahan untuk digarap bagi petani atau butuh tani yang belum memiliki lahan untuk bekerja," katanya.

"Lalu berikan jaminan harga jual hasil produksi yang menguntungkan mereka juga akses terhadap pasar. Berikan bantuan permodalan yang baik dan tidak mempersulit dan jaminan risiko gagal panen juga penting. Di sinilah negara harus hadir, agar defisit produksi pangan kita bisa ditutupi oleh produksi petani kita sendiri hingga tidak lagi defisit, dan bukan impor,” tegas Reiza menjelaskan.

Dia juga menambahkan bahwa praktik food estate yang diberikan kepada perusahaan mitra kementrian oleh negara, tidak akan mengubah nasib petani lebih baik, justru akan semakin meminggirkan mereka dan menjadikan petani sebagai profesi yang tidak memiliki masa depan yang baik.

“Bagaimana tidak? Di satu sisi negara memberikan lahan begitu luas kepada perusahaan mitra kementrian untuk dibuat Food Estate, di sisi yang lain negara sejak awal merencanakan pupuk untuk petani tidak pernah cukup. Kebutuhan pupuk petani 10,7 juta ton setiap tahun, di dalam APBN 2024 sebagai contoh, hanya dialokasikan sebesar 4,8 juta ton," katanya.

"Dan praktik begitu juga terjadi dalam APBN beberapa tahun ke belakang. Ironis sekali ini terjadi pada bangsa yang mengaku sebagai bangsa agraris, di mana petaninya seolah sengaja dibuat miskin dan tidak bisa maksimal berproduksi, agar impor pangan bisa jalan terus dan memberikan ekosistem pertanian di Indonesia kepada korporasi dengan alasan kemandirian dan krisis pangan,” tegasnya.

Reiza juga mengatakan bahwa selama ini Indonesia hampir tidak pernah mengalami krisis pangan, karena defisit produksi pangan di Indonesia selalu ditutupi dengan impor. “Dengan kondisi begitu, seolah negara terus saja membiarkan petani Indonesia itu susah dan tidak mampu menjadi tulang punggung produksi kebutuhan pangan kita," katanya.

"Sehingga selalu ada alasan untuk impor pangan, di mana profit dari rentenya sangat besar sekali. Belum lagi ada indikasi kuat potensi pendapatan ilegal dari transaksi pengurusan izin dan kuota impor itu. Ini harus segera dihentikan dan bangsa ini memang butuh perubahan fundamental,” kata Reiza menjelaskan.

BACA JUGA: Tak Pedulikan Hujan, Ribuan Santri PP Al Aziziyah Teriakkan Anies Presiden dan Salawat Asyghil untuk Perubahan

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: