Kota Tua Baru

Kota Tua Baru

ILUSTRASI Kota Tua Surabaya yang dibikin baru.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

Kota Tua Jakarta bukan sekadar menjadi destinasi wisata. Ia juga menjadi medium pendidikan sejarah. Tentang kotanya. Karena itu, banyak museum di dalamnya. Mulai Museum Fatahilah yang merupakan Gedung Balai Kota Batavia.

Ada juga Museum Wayang yang mempunyai 4 ribu koleksi wayang. Mulai wayang kulit, wayang golek, wayang rumput, wayang beber, gamelan, hingga boneka dari berbagai negara. Juga, Museum Bank Indonesia, Museum Seni Rupa dan Keramik, Museum Bahari, dan sebagainya.

Kekuatan Kota Tua Jakarta ada pada lanskap dan kontennya. Tanpa ada konten kuat yang menjadi wahana wisata, lanskap kota tua menjadi akan kurang bermakna. Itulah yang saya rasakan ketika berkunjung ke Kota Tua Semarang. Kita hanya bisa menikmati lanskap dan kulinernya tanpa diajak lebih jauh belajar sejarah kota tua itu.

Akankah Kota Tua Surabaya juga akan menampilkan konten yang kuat seperti Kota Tua Jakarta? Atau, sekadar mengekor Kota Tua Semarang yang hanya ”berjualan” lanskap heritage dan kulinernya? Atau, menawarkan hal baru lagi sehingga mampu menjadi destinasi yang menggiurkan bagi wisatawan dari luar Surabaya? 

Pasti Pemerintah Kota Surabaya telah merencanakan pengembangan konten kota tuanya. Apakah akan diisi dengan museum sejarah kota, galeri seni untuk memajang karya-karya maestro masa lalu, atau konten lain yang membuat orang ingin berulang-ulang kembali mengunjunginya.

Dengan mengintegrasikan tiga zona kota tua, Surabaya sebetulnya mempunyai kekuatan historis tersendiri. Bisa menampilkan wajah dinamis dari relasi antarsuku yang ada di kota itu. Apalagi kalau tiga zona tersebut dihubungkan dengan sejarah Peneleh yang menjadi jantung perjuangan kemerdekaan RI.

Yang pasti, semua harus mengapresiasi inisiasi itu. Semua perlu ikut berpikir bagaimana menjadikan kota tua yang baru di Surabaya mampu menjadi destinasi wisata yang menggiurkan. Yang mencerminkan pergeseran kota, dari kota industri menjadi kota dagang dan jasa. Seperti desain pemerintah kolonial Belanda di masa lalu.

Kuncinya barangkali adalah bagaimana memberikan ruh dari pembangunan kembali kota tua tersebut. Dan, itu berarti tidak semata memoles fisiknya, tapi juga merumuskan paradigma baru kota. Cara pandang baru untuk menjadikan Surabaya bukan hanya untuk warga Surabaya. Tapi, Surabaya yang terbuka untuk siapa saja.

Seperti halnya banyak orang senang dengan program menghidupkan kembali Jalan Tunjungan. Yang kini penuh bergairah dengan berbagai coffee shop baru dan toko suvenir yang ada. Menjadi alternatif hang out selain mal atau pusat perbelanjaan yang ada. Menjadi ikon baru jujukan pariwisata kota.

Jalan Tunjungan sudah mulai terasa ruhnya. Jika konsisten, Kota Lama Baru Surabaya kelak menemukan ruhnya sebagai destinasi baru wisata kota. Seperti bagaimana Jalan Tunjungan kembali menemukan ruhnya. Seperti halnya pasar, destinasi –apa pun jenisnya– membutuhkan ruh untuk menghidupkannya.

Kita tunggu saja Kota Tua Baru Surabaya menemukan ruh setelah diresmikan kelak? Tak sabar kita menunggunya. Ruh yang bisa menggerakkan. Seperti city branding yang tepat sehingga bisa menjadi magnet untuk menggerakkan kekuatan kota yang terpendam lainnya. (*)

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: