BRICS dan Reorientasi Arah Kebijakan Pasar Ekspor
Prabowo Subianto pastikan Indonesia gabung BRICS--BPMI Setpres RI
Lima negara yang telah menginisiasi terbentuknya BRICS dipandang banyak analis ekonomi dan politik dunia sebagai rival baru kekuatan ekonomi Barat. Sementara itu, ada lima negara tambahan lain yang resmi bergabung, yakni Arab Saudi, Ethiopia, Iran, Uni Emirat Arab, dan Mesir, dan terakhir Indonesia.
Bergabungnya Indonesia dengan BRICS dapat membuka lembaran baru di sektor perdagangan internasional. Sebagai negara berkembang dengan komoditas andalan kelapa sawit, batu bara, hingga produk pertanian, Indonesia mampu lebih leluasa menjangkau pasar potensial, seperti Brasil dan Afrika Selatan, yang permintaan produk tersebut cukup tinggi.
Oleh karena itu, keanggotaan BRICS dapat membantu mendiversifikasi pasar ekspor Indonesia sehingga ketergantungan pada pasar tradisional, seperti pasar Eropa, mampu berkurang. Dengan melakukan gebrakan diversifikasi pasar tujuan ekspor memungkinkan Indonesia relatif lebih tangguh menghadapi gejolak ekonomi global.
Pada beberapa tahun belakangan ini, Indonesia kerap kali mendapat sejumlah hambatan dagang dari sejumlah negara Eropa. Misalnya, di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), RI juga tak tinggal diam dan menggugat balik Uni Eropa (UE) yang menerapkan kebijakan arah energi terbarukan (RED) II mendiskriminasi produk turunan sawit, yakni biodiesel.
RI juga telah mengajukan banding kasus sengketa larangan ekspor bijih nikel melawan UE. Di sektor komoditas produk pertanian, RI mendapat hambatan perdagangan dari organisasi European Union Deforestation Regulation (EUDR) yang mewajibkan sejumlah syarat kepada Indonesia jika ingin mengekspor hasil hutan ke Eropa dan akan berlaku mulai akhir 2024.
Di sektor produk energi dan tambang Indonesia mendapat hambatan yang bersifat diskriminatif dari organisasi Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM), yang mengatur bahwa negara pengimpor berhak mengenakan pajak karbon atas produk-produk yang menghasilkan karbon, tetapi belum dikenakan pajak karbon.
Hadirnya BRICS telah membuka peluang baru bagi produk ekspor Indonesia. Potensi berkembangnya pasar ekspor ke sejumlah negara anggota BRICS seakan menjadi katalisator di tengah kian protektifnya Eropa bagi produk-produk ekspor Indonesia.
Terlebih, di antara sejumlah anggota baru BRICS, yakni Arab Saudi, Uni Emirat Arab (UEA), dan Mesir, merupakan pasar primadona bagi produk-produk kelapa sawit dan produk turunannya serta produk perhiasan dan turunannya. Pun, Afrika Selatan yang negara tujuan ekspor yang masih terbuka lebar.
Berdasar catatan Kementerian Perdagangan, Indonesia dan UEA telah menyepakati komitmen bisnis dan investasi senilai Rp 642,2 triliun. Investasi yang ditanamkan UEA di Indonesia, salah satunya, akan dialokasikan untuk proyek Ibu Kota Negara (IKN) Indonesia dengan kisaran Rp 142 triliun.
Berikutnya, posisi ke-2 ditempati Mesir dengan nilai ekspor mencapai 1,44 miliar dolar AS. Selanjutnya, posisi ke-3 diisi Arab Saudi dengan nilai ekspor sebesar 1,4 miliar dolar AS. Afrika Selatan berada di posisi ke-4 dengan nilai ekspor sebesar 846,8 juta dolar AS.
Pada awal tahun 2021, ekspor Indonesia ke Afrika Selatan meroket sebesar 138,15 persen berdasar acuan year-on-year (YoY). Kenya menyusul di posisi ke-5 dengan nilai ekspor sebesar 494,5 juta dolar AS.
Bergabungnya Indonesia dalam forum KTT BRICS merupakan langkah tepat dan strategis dalam melakukan reorientasi pasar ekspor dan penguatan daya tawar posisi Indonesia dalam kancah perdagangan internasional serta dinamika politik global. (*)
*) Sukarijanto adalah pemerhati kebijakan publik dan peneliti di Institute of Global Research for Economics, Entrepreneurship & Leadership dan kandidat doktor di Program S-3 PSDM Universitas Airlangga.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: