Cerita Diaspora dari Marisa Tania: Ketika Hidup Tak Lurus-Lurus Saja, Dari Surabaya ke Silicon Valley

Dua tahun pertama saya kuliah full online, tanpa kelas fisik, tanpa tatap muka. Hanya layar dan tekad.

Tapi saya terus jalan. Kadang ragu. Banyak malam tanpa tidur. Coding semalaman, zoom call sambil ngantuk, bareng teman sekelas saya dari Jakarta, Ryan –bikin project sampai jam 8 pagi. Rasanya seperti tidak ada habisnya, tapi saya tahu saya tidak sendiri. Dan saya tahu saya tidak bisa menyerah.

Perjuangan itu akhirnya membuahkan hasil. Selama kuliah, saya juga mendapat kesempatan untuk magang di Intel selama dua semester –pengalaman pertama saya bekerja langsung di dunia teknologi besar. Di situ saya belajar banyak tentang sistem berskala besar dan bagaimana rasanya menjadi bagian dari tim engineering global.

Saya lulus dengan IPK 3,98 dari USF, serta berbagai penghargaan dan beasiswa –Ignatius Scholarship, Grace Hopper Scholar, Tapia Scholar, dan Newmark Women in Tech Scholarship dari Craig Newmark Philanthropies (didirikan oleh pendiri Craigslist).

Saya juga menjadi finalis NCWIT Collegiate Award, sebuah penghargaan nasional untuk perempuan di bidang teknologi.

Dari kampus, saya meraih Dean’s Honor Roll, President’s Honor List, hingga MSCS Merit Scholarship dari USF. Semua itu bukan karena saya paling pintar –tapi karena saya tidak berhenti mencoba.

Hari ini, saya bekerja di PayPal, salah satu perusahaan teknologi internasional yang berbasis di Silicon Valley.

Dulu, saya menulis tentang tren fashion. Sekarang, saya menulis kode. Tapi satu hal yang nggak berubah: saya tetap bercerita –hanya medianya yang bergeser.

Jadi, kalau ada yang bertanya: apakah hidupmu gagal kalau tidak lurus-lurus aja?

Saya akan jawab: mungkin justru di jalan yang berliku itu, kita menemukan diri kita yang sebenarnya.(Bersambung)

Anda bisa memberikan komentar tulisan ini di kolom komentar Catatan Dahlan Iskan berjudul: Melarikan Diri

Sumber: