Kebijakan CGI sebagai Instrumen Diplomasi Keimigrasian

Kebijakan CGI sebagai Instrumen Diplomasi Keimigrasian

ILUSTRASI Kebijakan CGI sebagai Instrumen Diplomasi Keimigrasian.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

Kebijakan serupa dikeluarkan Tiongkok lewat Chinese Green Card bagi warga keturunannya di luar negeri.

Dari sini, India dapat membangun industri manufakturnya. Thomas L. Friedman (2005) dalam The World is Flat, secara khusus menjadikan India sebagai contoh bagaimana peran diaspora India dalam fenomena dunia yang makin bersifat datar. 

Berawal dari praktisi teknologi informasi asal India yang merantau ke Silicon Valley yang kemudian jadi bagian dalam dotcom bubble dan era internet pada tahun 90-an, India menjelma menjadi industri outsourcing IT di dunia pada tahun-tahun setelahnya berkat peran diaspora India yang kembali untuk membangun negaranya. 

Hal itulah yang ingin diadaptasi Indonesia. Melalui kemudahan dan akses izin tinggal tetap bagi diaspora Indonesia di luar negeri Indonesia, diharapkan akan mendorong pertumbuhan investasi, industrialisasi, dan knowledge and technology transfer dalam berbagai hal. 

Program GCI juga diharapkan dapat menjadi solusi atas brain-drain, yakni fenomena migrasi warga negara berbakat dan memiliki keahlian tertentu ke luar negeri dan beralih kewarganegaraan ke negara lain. Tercatat menurut data Direktorat Jenderal Imigrasi, sebanyak 3.912 WN Indonesia berpindah menjadi warga negara Singapura antara tahun 2019 hingga 2022 dengan rentang usia 25 hingga 35 tahun dan berstatus mahasiswa. 

Dengan kebijakan GCI, diaspora Indonesia yang sudah menjadi warga negara lain dapat mendapatkan ITAP unlimited dan kembali ke Indonesia untuk berkontribusi dalam pembangunan Indonesia melalui investasi, industri, pariwisata, sekaligus menjadi agen dalam mempromosikan Indonesia di dunia internasional.

GCI SEBAGAI INSTRUMEN DIPLOMASI KEIMIGRASIAN 

Dalam hubungan internasional, konsep persaingan antarnegara tidak selalu dengan instrumen hard power. Kini, seiring dengan pola geopolitik yang berubah, pendekatan instrumen soft power menjadi opsi yang realistis. 

Soft power, menurut Joseph Nye (2004), adalah kemampuan suatu negara untuk memengaruhi negara lain melalui daya tarik budaya, nilai, dan kebijakan sehingga pihak lain mengikuti tanpa paksaan.

Kebijakan GCI juga dapat dilihat sebagai migration diplomacy, yakni negara menjadikan kebijakan keimigrasian sebagai nilai tawar dalam konteks hubungan internasional. Kebijakan kemudahan visa, izin tinggal, dan fasilitas keimigrasian menjadi penopang utama dalam migration diplomacy

Dalam hal ini, GCI menjadi instrumen bagi pemerintah Indonesia untuk meningkatkan daya tarik migrasi bagi warga negara lain, khususnya diaspora Indonesia yang menetap di negara-negara maju. Tujuannya jelas, yaitu untuk menarik investasi dan diaspora Indonesia yang berkompeten. 

Lantas, apa yang ingin dicapai dari kebijakan tersebut? Secara praktis memang sudah dijelaskan di atas, bahwa menarik investasi dan diaspora Indonesia yang berkompeten untuk pulang dan ikut membangun Indonesia. 

Namun, lebih daripada itu, yang dilakukan pemerintah Indonesia tersebut merupakan bentuk konstruktivisme identitas baru. Melalui GCI, pemerintah Indonesia ingin memberikan label identitas ke-Indonesia-an kepada individu diaspora yang saat ini telah menjadi warga negara lain. 

Dengan GCI, identitas ke-Indonesia-an para diaspora tidak berhenti pada warna kulit, ciri-ciri fisik, nama, dan budaya, tetapi dibakukan secara administratif. Sekali lagi, menjadi pemegang ITAP unlimited berarti menjadi setengah warga negara. 

Dengan kata lain, pemegang ITAP diaspora memiliki identitas hybrid. Menjadi global sebagai warga negara lain, tetapi tetap Indonesia. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: