Mobil Bakal Tak Boleh isi Pertalite

Senin 30-05-2022,07:00 WIB
Reporter : Salman Muhiddin
Editor : Tomy C. Gutomo

JAKARTA, DISWAY.ID -- Presiden Joko Widodo menegaskan harga Pertalite tidak akan naik. Itu disampaikan saat Rapat Kerja Nasional (Rakernas) 21 Mei lalu. Pemerintah menambah subsidi agar harganya tetap di Rp 7.650 per liter. Namun muncul wacana baru: pembelian BBM Ron 90 itu bakal dibatasi.

Rencana itu disampaikan Kepala Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas (BPH Migas) Erika Retnowati tiga hari setelah Rakernas. Pihaknya sedang menggodok revisi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 191 tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak (BBM) beserta petunjuk teknis pembelian Pertalite.

"Agar BBM bersubsidi bisa lebih tepat sasaran. Nanti akan diikuti dengan petunjuk teknisnya," kata Erika kepada wartawan 24 Mei 2022. Sampai sekarang perubahan perpres itu masih belum diumumkan. Namun sejumlah pakar mengkritisi kebijakan itu.

Salah satunya, Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Herman Darnel Ibrahim. Menurutnya, kebijakan pemerintah sudah melenceng dari Pasal 7 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi. “Disebutkan bahwa harga energi ditetapkan berdasarkan nilai keenokomiam berkeadilan. Pemerintah menyediakan subsidi untuk kelompok masyarakat tidak mampu,” kata Herman kemarin (29 Mei 2022).

Siapa orang tak mampu itu? Penjabarannya ada di Peraturan Menteri Sosial Nomor 15 Tahun 2018. Mereka adalah orang yang mempunyai sumber mata pencaharian, gaji atau upah, yang hanya mampu memenuhi kebutuhan dasar yang layak namun tidak mampu membayar iuran bagi dirinya dan keluarganya.

Konsumsi Pertalite meningkat 25 persen sejak harga Pertamax naik dari Rp 9.000 ke Rp 12.500 per liter sejak 1 April 2022. Salah satu pengguna terbesarnya adalah mobil pribadi.

“Masak pengguna mobil itu masuk kriteria orang tak mampu?” tanya lulusan S2 University of Manchester Institute of Science and Technology Manchester dalam bidang Power System Analyses (1987) itu. Ia mengasumsikan orang yang sudah memiliki mobil sebagai masyarakat yang tak perlu mendapat subsidi BBM.

Jika pembelian Pertalite diatur lebih detail, ia mengusulkan agar Pertalite hanya digunakan kendaraan roda dua dengan kelas tertentu. Atau mobil yang digunakan untuk kendaraan umum, kendaraan logistik, pertanian, hingga nelayan.

Herman mengamati konsumen SPBU. Ia masih melihat ada mobil kelas atas yang diisi Pertalite. Menurutnya banyak masyarakat yang terlena dengan harga BBM yang sangat ekonomis itu. Sehingga, banyak pengguna mobil yang bepergian dengan tujuan yang tidak mendesak.

Misanya, deretan kendaraan yang terjebak kemacetan di Puncak Bogor saat libur Lebaran lalu. Herman yakin sebagian besar kendaraan itu menggunakan Pertalite. Ketika mobil pribadi tidak boleh menggunakan Pertalite, Herman yakin jumlah kendaraan yang memadati jalanan bisa berkurang. “Ya, mereka pakai untuk keperluan penting saja. Bukan rekreasi,” ucap mantan Direktur Transmisi dan Distribusi PT PLN Persero (2003-2008) itu.


-Grafis: Rozi Hamdani-Harian Disway-

Pemberian subsidi pada BBM menurutnya juga tidak selaras dengan Glasgow Climate Pact Oktober-November 2021. Indonesia menyepakati upaya pencegahan kenaikan temperatur global akibat perubahan iklim. Pengurangan gas emisi harus mencapai 45 persen hingga 2030.

“Kenyataannya kita malah menyubsidi emisi itu lewat BBM. Kan enggak rasional,” kata pria asal Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat itu. Masalahnya tak ada sanksi bagi pelanggar Glasgow Climate Pact itu. Herman melihat kesepakatan bakal sulit terwujud.

Mau tidak mau tetap harus ada subsidi. Herman mengusulkan pemberlakuan subsidi tetap atau fix.

Saat ini harga keekonomian Pertalite mencapai Rp 12.500 per liter. Artinya ada subsidi sebesar nyaris Rp 5 ribu di setiap liter Pertalite. Dengan mempertahankan nilai Pertalite yang murah, APBN bakal membengkak. Sebab subsidi ditanggung satu sumber.

Kategori :