Seseorang bisa menjadi ahli bukan karena banyaknya hal yang ia ketahui. Tapi karena rasa ingin tahu yang tinggi. Nah, rasa ingin tahu sangat melekat dengan karakter Prof Chairul Anwar Nidom. Sang pendiri lembaga riset Professor Nidom Foundation (PNF). Selama pandemi, ahli virologi tersebut didapuk sebagai Ketua Riset Corona dan Formulasi Vaksin.
---
KEMARIN pagi (16/8), laptop wartawan Disway sudah aktif membuka aplikasi meeting virtual. Seorang pria paro baya nongol di layar. Ia tampil sangat bersahaja. Mengenakan kemeja dan jas kuning. Lengkap dengan kacamata dan peci hitam. Dan tentu saja: bermasker.
Guru besar virologi Universitas Airlangga Prof Chairul Anwar Nidom merupakan satu-satunya dari 16 patriot Covid-19 yang tak bersedia diwawancara secara tatap muka. ’’Kita harus beri contoh. Penerapan protokol kesehatan harus disiplin dalam situasi dan kegiatan apa pun,’’ jelasnya.
Nidom adalah pendiri Professor Nidom Foundation (PNF). Nama lembaga riset itu diambil dari namanya sendiri. Namun, bukan atas keinginannya. Melainkan, dari anggota timnya sendiri. ’’Kata mereka, nama saya masih menjual,’’ ucapnya, lantas terkekeh.
Sejak pandemi merebak di Indonesia tahun lalu, Nidom didapuk sebagai Ketua Riset Corona dan Formulasi Vaksin. Banyak hal ditemukan terkait penelitiannya tentang virus korona baru.
Di antaranya, pertama, co-infeksi seorang penderita HIV/AIDS yang terkonfirmasi positif Covid-19. Ternyata, respons imun yang ditimbulkan berbeda dengan pasien Covid-19 biasa. Kedua, penularan Covid-19 pada zebrafish. Ketiga, yang paling populer, terkait isu vaksin nusantara. ’’Tiga tema besar itu kami bikin untuk pengajuan proposal S3,” katanya.
PNF beranggotakan 30 peneliti. Mereka sebagian besar sedang menempuh pendidikan doktoral. Usia mereka masih di bawah 35 tahun.
Lembaga tersebut berdiri sejak 2017. Namun, kiprah Nidom di dunia virus sudah jauh lebih lama. Ia merupakan spesialis peneliti virus Ribonucleic Acid (RnA) sejak 1996. Virus yang pernah ia jajaki, di antaranya, hepatitis C, influenza, flu babi, flu burung, dan virus zika. Semuanya sempat menjadi wabah global. Namun bisa diatasi dengan baik.
Bagi Nidom, tak ada kesulitan berarti selama meneliti virus korona baru. Sebab, semua konstruksi virus yang mengandung RnA nyaris sama. Apalagi, laboratoriumnya sudah dilengkapi dengan Biosafety Level-3 (BSL3). Yang merupakan syarat wajib bagi laboratorium penelitian virus RnA.
Dan dasar ilmuwan, cara ia memandang virus jelas berbeda dengan orang awam. Lebih bijak. ’’Korona itu juga makhluk. Sama seperti kita. Jadi pasti ada baiknya. Jangan dihujat terus hanya karena merugikan kita. Dia enggak tahu apa-apa,’’ tutur Nidom.
Pendapatnya mencengangkan bukan?
Well, tak kenal maka tak sayang. Begitu kira-kira sikap Nidom terhadap virus korona baru penyebab Covid-10 tersebut. Tentu ’’berkenalan’’ ini maksudnya bukan dengan terpapar. Namun ia ingin mengenali secara utuh seluruh bagian dari virus. Mengenali baik buruknya sekaligus. ’’Itu ciptaan Tuhan. Pasti ada maksud baik dari-Nya,’’ tegasnya optimistis.
Kini, ia bersama timnya sedang berupaya lebih lanjut lagi. Mencoba meneliti manfaat korona secara medis. Barangkali, kata Nidom, virus tersebut bisa ditumpangi untuk melawan penyakit akut lain. Seperti kanker dan alzheimer, misalnya.
Nidom menemukan perbedaan antara virus korona baru dengan virus RnA lain. Virus korona ini tingkat fatalitasnya lebih rendah dari virus RnA lain. Namun, daya tularnya memang paling cepat. Cukup dalam rentang waktu 3-5 hari saja. Sedangkan, flu burung, misalnya, butuh waktu 21 hari.