Naik Turun Lereng Gunung Penuhi Kebutuhan Warga Isoman

Selasa 17-08-2021,10:04 WIB
Editor : Yusuf M. Ridho

Covid-19 tak hanya meledak di perkotaan, tapi juga pedesaan. Tentu sangat sulit membantu mereka yang terpapar di lingkungan yang jauh dari fasilitas kesehatan dan obat-obatan medis. Tapi, warga Desa Gubukklakah cukup beruntung memiliki orang yang peduli seperti Fauji. Kerja kemanusiaannya begitu besar dan tanpa pamrih.

---

VIRUS tak punya mata. Tak pandang siapa dan di mana. Ia akan berdiam ketika menemukan tempat yang nyaman sebagai inang. Tak hanya di lingkungan perkotaan, tapi juga pedesaan.

Jika di kota, pasien mungkin akan lebih cepat ditangani karena tersedianya akses rumah sakit dan obat-obatan. Berbeda dengan di desa. Minimnya fasilitas kesehatan, ketersediaan obat, tentu akan menyulitkan.

Itulah yang dirasakan Fauji Al Ahmad Fauzi. Ia selama ini menjadi anggota Taruna Siaga Bencana (Tagana). Bertugas di Desa Gubukklakah, Poncokusumo, Malang. Desa itu berada di lereng Gunung Bromo. Jalur utama pendakian. Tentu kontur jalannya menanjak berkelok-kelok. ”Akses menuju puskesmas terdekat jaraknya 10 kilometer. Kalau beli obat, ke rumah sakit harus ke Kota Malang,” ujarnya.


Fauji Al Ahmad Fauzi

Setiap hari Fauji berkutat dengan orang-orang yang terpapar Covid-19 di desa itu. Tak jarang ia menemukan pengidap Covid-19 dengan kesulitan ekonomi sehingga terpaksa hanya dirawat di rumah. Padahal, gangguan kesehatannya cukup berat. Tak jarang mereka hanya mengonsumsi obat-obatan seadanya.

”Lumayan susah membentuk pemahaman masyarakat soal Covid. Untuk mengantar kebutuhan para isoman saja, banyak yang tidak berani,” ujarnya.

Maklum, di desa informasi soal Covid-19 juga masih minim. Warga sering termakan kabar burung. Menganggap orang yang terpapar Covid-19 perlu dijauhi. Anggapan itu secara tidak langsung sama saja dengan upaya pengucilan.

Akibatnya, Fauji harus bekerja keras demi melayani warga yang terpapar. Di Gubukklakah, hanya ada dua orang Tagana. Termasuk dirinya. Ia pun harus berbagi tugas yang sulit. Contohnya, mengantar keperluan masyarakat yang sedang isoman, membeli obat-obatan, dan membantu pemakaman mereka yang meninggal.

Ia harus rela memanggul kantong-kantong berisi keperluan warga yang sedang isoman. Kemudian, meletakkannya di halaman atau mengaitkannya di pagar rumah warga. Ketika ia datang, penghuni rumah biasanya membuka pintu sedikit sembari melambai-lambaikan tangan.

Matur nuwun, Pak Fauji.” Itulah kata-kata yang diucapkan, sebagai ungkapan terima kasih. Fauji selalu bertanya tentang keadaan mereka. Terlebih, apabila ada salah seorang penghuni yang sakit cukup parah.

Jika perlu sesuatu, warga yang isoman menaruh harapan kepada Fauji. Ia ikhlas menempuh jarak jauh demi membeli barang-barang di pasar atau obat-obatan di kota. Sesuai permintaan warga yang isoman itu.

Tak jarang ia baru sampai rumah saat malam. ”Semua saya lakukan sejak 11 Juli. Sejak PPKM pertama sampai sekarang,” ujar pria 43 tahun itu.

Kini warga yang isoman tinggal satu rumah. ”Dulu sampai sembilan rumah. Sekarang sudah menerapkan pola hidup sehat serta taat protokol kesehatan,” ujarnya. Fauji yang menjadi contoh. Penduduk tahu bahwa ia sering ke rumah-rumah orang yang isoman. Tapi, dengan menaati protokol kesehatan, ia tak tertular.

Untuk pendanaan, ia harus memaksimalkan dana desa yang jumlahnya sedikit. ”Tapi, setiap usaha yang baik selalu ada jalan. Meski minim, masyarakat yang terpapar tetap menerima bantuan,” ujarnya.

Masalah paling sulit adalah saat memakamkan penderita Covid-19 yang meninggal dunia. Banyak warga yang tidak bersedia membantu pemakaman. ”Pertama-tama saya dan beberapa kawan yang melakukannya. Namun, tenaganya tak cukup. Lantas, saya meminta bantuan kerabat almarhum. Tentu harus sosialisasi dulu,” ujarnya.

Ketika terdapat orang meninggal karena Covid-19, Fauji mendatangi kerabatnya. Ia berusaha meyakinkan mereka agar bersedia memakamkan jenazah. ”Akan disediakan APD lengkap. Pasti aman. Saya katakan, kasihan jika tidak ada kerabat yang ikut dalam pemakaman. Itu saja awalnya tak semua orang bersedia,” ungkapnya.

Fauji terus meyakinkan orang-orang bahwa ada prosedur khusus untuk memakamkan jenazah penderita Covid. ”Cukup mengikuti prosedur tersebut. Tak akan terjadi apa-apa. Saya ingin minimal ada kerabat yang turut serta. Kasihan jika tak ada sama sekali,” tuturnya.

Selama menjadi Tagana, hal paling menyedihkan adalah Fauji menemukan seseorang yang sedang menjalani isoman, tetapi hanya sendiri saja di rumah dan jauh dari sanak keluarga. Setiap hari, ketika mengunjunginya, Fauji selalu menyempatkan diri untuk berbincang dengannya. Tentu dari jarak jauh. Selalu diberi semangat dan diyakinkan bahwa seseorang yang menjalani isoman tak boleh dibebani pikiran. Sebab, itu hanya akan membuat sakitnya makin parah.

”Alhamdulillah, ia sembuh. Setiap hari saya ajak berbincang, bercanda, dan sebagainya. Pokoknya tidak boleh stres,” ungkapnya.

Bagi Fauji, hal paling menyenangkan ketika bekerja sebagai personel Tagana adalah melihat orang lain sembuh. Saat itu mereka datang kepadanya dan tersenyum, lalu berterima kasih. ”Senyuman mereka yang terbebas dari Covid-19 adalah kebahagiaan tertinggi untuk saya,” tambahnya.

Kerja kemanusiaan di tengah pandemi dilandasi satu prinsip. Yakni, memanusiakan manusia. Siapa saja harus diperhatikan, tak pandang bulu. Mereka yang isoman perlu dikunjungi dan diberi motivasi. Mereka yang membutuhkan bantuan harus dipenuhi dengan maksimal. Upaya Fauji menjadi inspirasi bagi warga. Banyak dari mereka yang belajar dari kesungguhan Fauji dan bergabung dengannya untuk membantu sesama.

Meski kerap bertemu orang yang terpapar Covid-19, Fauji sampai saat ini masih sehat walafiat. ”Saya sudah swab tiga kali. Alhamdulillah sehat,” ungkap ayah satu anak itu. Tuhan telah memilihnya untuk berkontribusi kepada masyarakat. (Guruh Dimas Nugraha)

Tags :
Kategori :

Terkait