Belajar Menerima Apa Adanya

Jumat 20-08-2021,04:00 WIB
Editor : Gunawan Sutanto

Namun, ternyata faktor-faktor luar itu tidak berdiri sendiri. Sebab, sangat erat kaitannya dengan faktor internal. Di dalam diri kita sendiri. Yang menjadikan faktor luar itu mewujud menjadi distres dalam jiwa kita.

Yang pertama adalah sikap obsesif. Yakni, rasa memiliki yang berlebihan. Makin tinggi rasa memiliki seseorang terhadap sesuatu, makin tinggi potensi stresnya. Sebaliknya, kian rendah rasa kepemilikannya, kian rendah potensi stresnya. Bahkan, kehilangan atas hal itu pun sama sekali tidak menyebabkannya mengalami stres.

Yang kedua adalah pikiran negatif. Negative thinking. Itulah sikap yang selalu melihat suatu masalah dari sisi negatifnya. Sisi ancamannya. Sisi gelap dan menakutkan. Selalu dihantui perasaan ”jangan-jangan”. ”Jangan-jangan gagal”. ”Jangan-jangan rugi besar”. ”Jangan-jangan bikin malu”. Dan lain sebagainya.

Yang ketiga, sifat tidak mau kalah. Ataupun, tidak mau mengalah. Ingin menang sendiri. Egois. Sikap yang juga menjadi sumber stres dominan bagi seseorang. Makin ingin menang sendiri, makin tinggi potensi stresnya.

Dan, sebenarnya masih banyak lagi sumber stres yang ada di sekitar kita. Yang bersifat eksternal. Maupun internal. Pada prinsipnya, adalah sikap yang tidak bisa menerima keadaan. Tidak bisa berdamai dengan apa yang terjadi. Di sekitarnya. Ataupun, menimpa dirinya.

Sungguh penting untuk memahami masalah itu. Dan kemudian melatihnya dalam kehidupan keseharian. Agar menjadi faktor pendukung tercapainya kebahagiaan. Dalam kondisi apa pun. Yang sedang kita alami.

Maka, apa yang harus kita lakukan agar semua sumber stres itu tidak memunculkan masalah dan penderitaan dalam kehidupan kita?

Setidak-tidaknya ada empat. Yang pertama, menguasai masalah. Kian bagus penguasaan kita terhadap sebuah masalah yang menimpa kita, kian tenanglah hati kita. Makin percaya diri. Siap menghadapi apa pun yang bakal terjadi. Sebaliknya, jika tidak menguasai masalah, kita akan makin grogi. Waswas. Dan, stres karenanya.

Yang kedua, berpikir positif. Positive thinking. Memandang sebuah masalah dari sisi produktifnya. Berorientasi pada solusi. Bukan mempermasalahkan masalah. Yang bikin tambah ruwet. Kalaupun ada sisi negatif pada masalah itu, ia kita anggap sebagai faktor yang memotivasi agar kita bisa mengatasinya.

Yang ketiga, tidak takut pada kegagalan. Justru menjadikan kegagalan sebagai sebuah pembelajaran. Karena sesungguhnya, hanya satu yang membedakan antara orang gagal dan orang sukses. Yakni, pada orang gagal, ia tidak bisa bangkit dari kegagalannya itu.

Sedangkan pada orang sukses, ketika ia mengalami kegagalan, ia bisa bangkit kembali. Gagal lagi. Bangkit lagi. Gagal lagi, bangkit lagi. Sampai ia menjadi ahli. Karena berkali-kali belajar dari kegagalannya. Dan, kemudian layak mencapai kesuksesannya.

Dan yang keempat, bersandarlah kepada Allah. Tuhan Yang Maha Pemurah, Maha Berilmu, lagi Mahabijaksana. Sebab, sesungguhnya semua masalah yang datang kepada kita itu hanyalah ujian dan cobaan. Yang dialami semua orang. Dengan skalanya masing-masing.

Yang jika kita bisa bersabar dalam menghadapinya, semua itu pasti bakal berlalu.

Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.” (Q.S. Al-Baqarah: 155)

Maka, Allah mengajari kita agar senantiasa bertawakal kepadanya. Dengan penuh kesabaran. Sabar dalam arti tidak tergesa-gesa dalam menghadapi masalah. Juga, sabar dalam arti tahan uji ketika kita sedang berada di dalam masalah.

Dengan cara itu, kita bisa berdamai dengan keadaan. Juga, menerima apa pun takdir-Nya. Setelah kita berupaya maksimal untuk meraih takdir terbaik yang kita harapkan.

Tags :
Kategori :

Terkait