PERSELISIHAN surat ijo tetap tidak jelas kelanjutannya. Sampai sekarang belum ada progres penyelesaiannya. Baik dari pemkot maupun pemerintah pusat. Kedua pihak saling tuding terhadap penyelesaian masalah itu. Kemarin pemerintah pusat, pemkot, dan pemilik surat ijo berdiskusi dalam satu forum.
Wakil Wali Kota Surabaya Armudji mengatakan, pemerintah kota tidak keberatan bila surat ijo diberikan kepada masyarakat. Bahkan, ia mengeklaim pemkot sudah berkomunikasi dengan Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR). Tinggal menunggu kementerian tersebut melepaskan surat ijo kepada masyarakat.
Armudji menjelaskan, sampai saat ini masih dalam proses komunikasi dengan kementerian lainnya. Sebab, surat ijo menyangkut banyak aspek. ”Kementerian Hukum dan HAM juga ikut. Kemendagri juga. Jadi, semua sudah kami komunikasikan,” ujarnya.
Bahkan, politikus PDIP itu jengkel karena menteri dari pihak yang bersangkutan tidak juga turun tangan. Ia meminta kementerian yang bersangkutan bisa transparan. Pun, segera menyelesaikan permasalahan surat ijo. ”Tolong, jangan memberi harapan kosong,” ujar mantan ketua DPRD Surabaya itu.
Pada Februari lalu, mantan Wali Kota Surabaya Whisnu Sakti Buana pernah bersurat ke Kementerian ATR. Surat itu berisi persoalan izin pemakaian tanah (IPT) di Surabaya yang belum selesai. Namun, kepemimpinan Whisnu hanya seumur jagung. Permasalahan belum selesai, ia keburu turun jabatan. Kemudian, permasalahan tersebut diwariskan kepada Eri Cahyadi-Armudji sebagai wali kota dan wakil wali kota Surabaya.
Kepala Biro Hukum Kemendagri Ghani Muhamad mengatakan, selama pemerintahan Eri-Armudji, pemkot belum berkirim surat. Meskipun, ia tahu bahwa Armudji sering menjanjikan pelepasan surat ijo. Baginya, sengketa itu bisa diselesaikan berdasar political will dari Pemkot Surabaya.
Sedangkan surat yang dilayangkan Whisnu ke Kementerian ATR berisi permohonan petunjuk penyelesaian surat ijo. Bukan bernarasi penyelesaian surat ijo. Ia minta pemkot segera mengirimkan surat penyelesaian surat ijo.
”Mungkin pemkot bisa bersurat langsung ke presiden. Biar nanti presiden menunjuk menteri sebagai koordinator. Kemudian, ada disposisi kepada kami,” ungkap Ghani.
Pemkot bisa memulai iktikad baik dengan mengubah isi perda yang ada. Misalnya, mengubah perda retribusi surat ijo menjadi lebih murah. Bahkan, bisa sampai Rp 0. Pengubahan aturan tarif merupakan kebijakan pemkot.
Ghani mengatakan, IPT sementara tidak boleh dihapus. Sebagai wujud administrasi Pemkot Surabaya. ”Jangan sampai pemkot kehilangan data riil dan faktual,” katanya.
Pakar hukum pertanahan Untag Surabaya Sri Setiaji mengatakan, permasalahan itu sudah dilaporkan sejak pemerintahan Gubernur Soekarwo. Bahkan, di era Gubernur Khofifah Indar Parawansa, kasus itu sudah dilaporkan ke pemerintah pusat.
Bagi Setiaji, ada tiga lembaga yang bisa menangani kasus tersebut. Yakni, Kementerian ATR, Kemendagri, dan Badan Pengawas Keuangan (BPK).
BPK dilibatkan karena selama ada perda retribusi surat ijo, pemkot masih punya hak beraktivitas sesuai aturan. Namun, apakah aturan itu bisa ditangguhkan?
”Zaman Whisnu, sudah menyurati BPK. Bahwa berdasarkan DPRD dan gubernur Jatim, permasalahan ini berupa sengketa. Sesuatu yang bersengketa statusnya quo,” kata Setiaji.
Meski begitu, pemerintah harus mampu memverifikasi surat ijo. Menurutnya, jika tanah itu memang aset pemkot murni, tidak bisa dilepaskan. Tapi, bila bukan aset pemkot, pemerintah bisa melepasnya. ”Setelah diverifikasi, jika itu murni milik pemerintah, masyarakat harus legowo. Begitu pula sebaliknya,” ujar Setiaji.