ATURAN baru mengenai pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) memang ditujukan agar semakin banyak masyarakat yang memasang solar cell di atap rumahnya. Pemilik PLTS bisa menyimpang kelebihan setrumnya ke PLN. Biaya penyimpangan itu akan ditanggung PLN.
Pakar Energi Prof Mukhtasor mengatakan, kebijakan baru itu akan membebani PLN. Apalagi pengguna PLTS atap kebanyakan memakai sistem on-grid. Yakni solar cell tanpa menggunakan baterai. Sehingga kelebihan listrik yang dihasilkan PLTS harus dialirkan ke penyimpan listrik milik PLN.
Jika tidak ada pembayaran penitipan listrik, PLN akan menggunakan APBN untuk menutup biaya penitipan itu. Mukhtasor menjelaskan, kebanyakan masyarakat Indonesia memakai listrik pada malam hari. Saat itu peak load pembangkit listrik banyak yang difungsikan. Sehingga biaya membengkak pada malam hari. Sedangkan PLTS atap hanya bisa mengekspor listrik pada siang hari. Ketika malam hari, pengguna PLTS akan mengimpor listriknya kembali.
Kementerian ESDM menargetkan pada 2025, peran energi baru terbarukan (EBT) mencapai 23 persen. Kapasistas pengguna PLTS diharapkan bisa mencapai 3,6 Gigawatt.
Bagi Mukhtashor, target 23 persen EBT pada tahun 2025 kurang masuk akal. Menurutnya, pemerintah lebih baik memberikan tambahan insentif kepada produsen PLTS. Sehingga harga solar cell bisa lebih terjangkau. ”PLN tidak lagi membebani APBN,” ujar Guru Besar Teknik Kelautan ITS itu.
Berdasarkan perhitungan kementerian ESDM, jika target 3,6 Gigawatt tercapai, negara akan menghemat pengeluaran subsidi listrik hingga Rp 230 miliar per tahun. Selain itu, pembangkit listrik tenaga gas (PLTG) maupun pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) bisa mengurangi konsumsi batu bara sampai 3 juta ton per tahun.
Pada (Jumat 27/8) Direktur Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Rida Mulayana menjelaskan, PLN kehilangan potensi pendapatan sebesar Rp 5,7 triliun. Sebab konsumsi masyarakat dari PLN menurun karena kurangnya tagihan. Namun PLN mendapat penghasilan baru dari penjualan karbon dan penerimaan listrik ekspor dari PLTS atap. ”Potensi pendapatan berkisar Rp 1,12 triliun,” ujarnya.
Waketum Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI) Anthony Utomo mengatakan, PLTS atap memiliki prospek yang cerah bila aturan baru benar-benar diberlakukan. Anthony sudah berencana membuat solarpreneur. Yakni pemberdayaan masyarakat terhadap bisnis EBT. Salah satunya PLTS atap.
UMKM nantinya bisa membuka bisnis pemasangan solar cell panel. Namun bila memiliki modal sedikit lebih banyak, maka bisa membuat outlet. ”Modalnya Rp 400 juta-an. Jadi UMKM tidak hanya bergerak di fashion dan makanan. Energi juga bagus peluangnya,” ujarnya.
Saat ini pemasangan PLTS atap dengan daya 2.200 VA dengan SolarUV off grid mencapai RP 58 juta. Sedangkan untuk on-grid mencapai Rp 30 juta. Off-grid lebih mahal karena harus membeli baterai. Sehingga tidak perlu mengekspor listrik ke PLN. (Andre Bakhtiar)