Setelah beberapa hari berwisata di Zanzibar, saatnya mengunjungi Turki. Kota sejuta pesona yang memiliki ratusan tempat wisata serta sejarah panjang. Juga Laut Mediterania yang menawan.
Mungkin banyak orang berpikir ”wah, enak si Ni Luh, bepergian sepanjang hari keliling Afrika sampai Eropa”. Padahal, mereka belum tahu rasanya. Bagaimana aku membawa tas besar. Berisi segala perlengkapan serta melancong ke negeri asing sendirian.
Jangan sebut namaku bila aku tidak nekat. Seorang diri pun kujalani. Meskipun aku tak tahu kanan-kiri. Selatan-utara-barat-timur. Belum lagi kemungkinan tersesat atau ditipu orang. Tapi aku yakin, Hyang Widhi senantiasa menyertai perjalananku. Sejauh ini aku aman.
Pada awal September kumulai perjalananku dari Zanzibar ke Turki. Naik pesawat, transit di Doha, Qatar selama sekitar tiga jam. Kemudian terbang lagi hingga sampai di Istanbul. Total perjalanan sepuluh jam.
Sampai di depan pintu pesawat, sebelum turun, kurentangkan tangan sejenak. Aku berteriak. ”Istanbul, aku datang! Apa kabar Kaisar Ottoman?” Tanpa sadar orang di belakang sudah mengantre. ”Permisi, sebaiknya Anda segera turun,” ujar pria di belakangku. Aku menahan tawa sambil menutup mulut. Lantas bergegas turun.
Aku sejenak duduk di ruang tunggu bandara untuk mencari informasi dari Google. Tentang wisata paling tenar di Turki. Ketemu! Pantai Laut Mediterania di Marmaris. Juga wisata sejarah berupa bangunan kuno serta Ghost Village di Fethiye.
Keduanya segaris lurus dalam map. Wah, aku harus ke sana. Tapi tentu tidak saat itu juga. Aku masih lelah. Perlu mencari penginapan untuk beristirahat setidaknya dua hari. Aku menemukan hotel di sekitar bandara.
Kusempatkan berbincang dengan resepsionis soal transportasi menuju Marmaris hingga Fethiye. Ia menjelaskan panjang-lebar. Seorang karyawan hotel membantuku menenteng barang bawaan menuju kamar. Kurebahkan diri, kuputar Gayatri Mantra. Doa dalam irama yang membuatku selalu merasa tenang.
Selama dua hari aku menginap di hotel tersebut. Sesekali keluar untuk berbelanja dan menyaksikan bangunan-bangunan serta masjid-masjid berasitektur unik di Istanbul. Kota ini punya sejarah panjang. Serta kisah dinasti Ottoman yang perkasa.
Pada hari kedua, pagi-pagi betul aku naik pesawat menuju Dalaman. Kurang lebih satu jam perjalanan. Sampai di bandara, aku naik menuju Marmaris. Bersama para penumpang warga Turki yang memiliki postur serta wajah khas. Setengah Eropa, setengah Arab. Seperti halnya letak geografis negara mereka yang sebagian ada di Asia, sebagian lagi di Eropa.
Di jendela kulihat suara debur ombak Mediterania. Garis pantainya luas membujur dari utara ke selatan. Beberapa wisatawan tampak bersantai sambil rebahan. Tanah pantainya berbatu. Latarnya adalah pulau-pulau berbukit. Katanya, jika menyeberang lautan tersebut, akan sampai di Yunani. Memang dua negara berbatasan.
Aku sampai sekitar jam empat sore. Waktu terbaik untuk berjalan-jalan di dataran Eropa seperti di Turki ini. Sebab, kalau siang, cuacanya sangat terik. Panasnya menyengat alias nylekit. Harus sedia sun block. Berbeda dengan di Indonesia atau daerah-daerah beriklim tropis lainnya. Meski terik, tapi masih sejuk.
Aku berjalan menyusuri trotoar di pantai tersebut. Di sela semilir angin laut yang menerpa tubuhku. Aku sempat berkunjung ke wilayah nelayan. Perahu-perahu pencari ikan bersandar. Ada juga sebuah monumen. Sepertinya monumen perjuangan Turki. Seragam prajuritnya seperti seragam era Kerajaan Ottoman.