Lantas brojolan dengan memecah cengkir atau buah kelapa muda berlukis sosok wayang Kamajaya-Ratih, simbol Dewa-dewi cinta. Setelah itu takir pontang atau membagikan wadah berbentuk kapal yang terbuat dari daun pohon pisang dan janur. Maknanya agar suami-istri dapat menata hati dan pikiran dalam mengarungi biduk rumah tangganya.
Terakhir jualan dawet dan rujak gobet. Bermakna sebagai doa agar calon orang tua dapat senantiasa memenuhi kebutuhan anaknya. Agar sang anak dapat membawa rezeki, baik bagi dirinya maupun bagi orang tuanya.
”Namun pada masa pandemi, tak mungkin untuk mengundang banyak orang. Bisa mengundang kerumunan. Makanya kami konsep dengan sederhana. Intinya, doa dari orang tua dan doa pada Ilahi,” ungkap Swan.
Tapi Swan tetap menyediakan rujak gobet, dawet, yang melengkapi bubur merah putih. ”Awalnya hanya memesan bubur merah putih. Tapi kawan dari pihak katering yang paham tradisi bilang kalau harus ada rujak gobet dan dawet. Ternyata ketiganya ada makna filosofis.
Rujak gobet yang dibuat dari berbagai jenis buah, bermakna agar anak Munti kelak pandai bergaul. Mampu menyatu dengan siapa saja dan tak memandang perbedaan. Dawet dengan bagian berbentuk bulat di dalamnya melambangkan kebulatan hati atau agar anak memiliki tekad yang kuat.
”Bubur merah putih bermakna penyatuan cinta antara suami dan istri, yang menghasilkan kehidupan baru,” terang perempuan 58 tahun tersebut. Makanan-makanan itu sedianya akan dibagikan kepada para tetangga.
Sebelumnya, Swan bersama suaminya mengajak Munti dan Tito duduk bersama. Berempat, berjajar. Saat itulah sebagai orang tua, Swan bersama suami memberi nasihat. Khususnya kepada Munti yang bakal menjadi ibu.
”Kamu akan mengalami seperti apa yang pernah Mama alami. Kamu akan merasakan pengalaman melahirkan. Tak usah takut. Jaga mental dan buat hatimu bergembira,” ujarnya, lalu mengusap rambut putrinya itu. Munti segera merengkuh tangan ibundanya dan meletakkannya di kening.
Sang ibu menatap anaknya dalam-dalam. Dengan lembut ia mengusap punggungnya. ”Semoga bayinya sehat. Kamu jangan lupa berdoa, Mun,” ujarnya, sambil Swan meraih pundak Tito.
”Kalau kamu ingin memberi nama anakmu, berilah nama yang baik. Jangan memberi nama yang berat. Nama harus bagus. Supaya anakmu kelak dapat tersemangati oleh namanya,” ujarnya. Tito kemudian bersimpuh dan mencium tangan ibu mertuanya.
”Tito, Mun, tingkeban atau mitoni ini bagus untuk dilakukan. Artinya, agar kalian berdua, terutama Munti, dapat lancar nanti persalinannya,” ungkapnya, berpesan. Prosesi singkat itu ditutup dengan saling berpelukan. Mereka berempat berlinang air mata haru.
Acara diakhiri dengan membagi-bagikan makanan kepada warga sekitar sebagai tanda syukur. Meskipun sederhana, nuansa sakralnya tetap terjaga. ”Apa pun tradisi yang kami gelar, intinya ini doa orang tua untuk anaknya dan doa kami kepada Ilahi. Sambil melestarikan budaya Indonesia,” pungkas ibu tiga anak itu. (Guruh Dimas)