Kalau dipelesetkan untuk promosi Cinta Laura, mungkin akan menjadi ”You are what you speak”, eksistensimu bergantung aksenmu. Karena itu, Cinta kemudian menjadikan aksennyi sebagai modal untuk membangun eksistensi dan ketenaran.
Dalam pidatonyi, Cinta mengatakan bahwa manusia adalah makhluk yang terbatas (finite) dan Tuhan bersifat tidak terbatas (infinite). Karena keterbatasan itu, manusia tidak mungkin bisa memahami Tuhan yang tidak terbatas.
Namun, kata Cinta, sekarang justru banyak manusia yang merasa paling tahu soal Tuhan. Manusia merasa paling dekat dan paling benar dalam memahami keinginan Tuhan. Karena itu, kemudian muncul cara beragama yang radikal.
”Fungsi agama satu, yaitu membimbing kompas moral manusia. Mengingatkan manusia untuk memperlakukan satu sama lain dengan hormat. Sampai detik ini, kita semua masih sering berkelahi dan menjatuhkan satu sama lain, hanya karena perbedaan ras, suku, dan terutama agama,” kata Cinta.
Entah ungkapan itu dia kutip dari siapa. Mungkin dia pernah membaca pemikir Yahudi radikal Yuval Noah Harari yang menulis buku laris ”Homo Sapien”. Tapi, kayaknya, kutipan Cinta Laura itu lebih mirip dengan kutipan Panglima Kostrad Letjen Dudung Abdurrahman.
Cinta dan Dudung, mungkin, tidak saling kenal. Tapi, message-nya soal beragama ternyata sama saja. Dudung mengatakan semua agama sama di mata Tuhan. Pernyataan itu memantik polemik dan kontroversi.
Kalau semua agama sama, mengapa Dudung tidak mencoba ganti-ganti semua agama. Dudung menjawab, dirinya panglima, bukan ustad. Ia mengatakan, ungkapan itu supaya prajuritnya tidak beragama secara radikal, tapi dengan moderat.
Sama dengan Dudung, Cinta berbicara mengenai relativisme agama. Agama dianggap sebagai kompas moral untuk memandu kehidupan sosial. Karena itu, tidak perlu menjalankan agama secara kafah, komprehensif, cukup yang moderat-moderat saja, yang tanggung-tanggung saja.
Kampanye yang disampaikan Dudung dan Cinta sama saja. Mungkin sumber dan sponsornya saama. Siapa tahu? (*)