Sekali saja berpetualang di Pulau Dewata, selamanya akan teringat dalam benak. Selalu ingin kembali dan kembali lagi. Seperti pengalamanku di Ladang Bunga Marigold, Monkey Forest, dan Air Terjun Tukad Cepung.
Kiranya para Dewa menghibahkan potongan surga di kahyangan. Mereka meletakkannya pada sudut tengah Nusantara. Kemudian menamakannya Bali. Sebab siapa saja, baik Dewa maupun manusia yang ke sana, selalu ingin kembali.
Cerita itu cuma khayalanku saja. Karena aku benar-benar suka dengan Bali. Semenjak Unair menugaskanku mengikuti pendidikan traumatologi dan orthopaedi di RS Sanglah, Denpasar, aku jatuh cinta sejak pertama kali datang.
Tepatnya pada akhir 2019 ketika pandemi belum menerjang. Setiap kali senggang atau waktu istirahat, kusempatkan untuk berjalan-jalan. Tiap sudut memesona. Senyuman ramah tak pernah lewat dari bibir masyarakatnya.
Dari sebuah buku tentang wisata Bali, aku tertarik dengan objek wisata berupa air terjun yang turun di sela-sela tebing. Namanya Wisata Air Terjun Tukad Cepung di Bangli. Aku lihat jaraknya, dari tempat indekosku di Sanglah menuju ke sana sekitar 3 jam. Aku menyewa ojek online. Berangkat siang, pukul sembilan.
Menyusuri perkotaan, areal persawahan hingga jalan yang berbukit-bukit. Pukul dua belas siang aku tiba di pintu masuk tempat wisata. Akses menuju lokasi utama lumayan curam namun aman.
Ada tangga dan besi pegangan di kanan-kiri. Tapi harus tetap berhati-hati. Perjalanan terus menurun ke bawah. Sampai di sebuah sungai. Tebing-tebing menjulang terlihat di depan.
Perjalananku sampai di bagian celah tengah tebing. Rasanya seperti masuk gua. Sungai ini rasanya bisa disebut ngarai. Sebuah aliran air yang terbentuk karena erosi air sungai. Ngarai biasanya terdapat di tengah tebing, bukan?.
Meski berada di bagian bawah tebing, cahaya matahari cukup banyak masuk. Sepertinya tepat aku berangkat jam sembilan dan sampai jam 12. Matahari berada di atas kepala. Tak terhalang kontur tebing. Jika sore sedikit bisa agak gelap.
Lima puluh meter melangkah lebih dalam, tampaklah air terjun yang dimaksud. Alirannya cukup deras. Ada yang bilang bahwa sebenarnya itu bukan air terjun, melainkan sungai yang terdapat di daratan bagian atas. Di salah satu celahnya, airnya teralirkan dan jatuh melewati tebing tersebut. Jadi terlihat seperti benar-benar air terjun.
Aku menyiapkan tripod kamera. Kuletakkan di salah satu celahnya. Kusetting timer-nya dan aku berpose. ”Cekrek!”. Setelah agak kering, aku berganti pakaian. Kalau tadi dengan kaus agak gelap, sekarang pakai kaus warna terang. Cekrek lagi. Hasilnya bagus. Cahayanya apik. Sekali-kali menjadi seperti foto model yang gonta-ganti outfit.
Ketika menjelang sore, sekitar pukul tiga, matahari tak lagi berada di atas kepala. Namun secercah sinarnya menyorot bebatuan tempatku berpijak. Lumut-lumut tipis berwarna setengah hijau tua, setengahnya lagi muda. Kontur bebatuan pun begitu. Layaknya lukisan naturalisme yang tiada bandingan.
Ketika pulang, tentu saja aku harus kembali melewati sungai kecil berbasah-basah. Sesampai di pintu keluar, aku melihat beberapa perempuan Bali sedang membawa keranjang-keranjang berisi bunga berwarna kuning. Bukan bunga matahari.