Gelombang kedua Covid-19 terjadi pada awal Juli lalu. Banyak rumah sakit (RS) di Surabaya dirundung suasana mencekam. Pasien Covid-19 membeludak. Beberapa RS pun terpaksa lockdown . Tidak melayani IGD.
ITU juga dialami oleh Rumah Sakit Lapangan Indrapura (RSLI). Kapasitas tempat tidur tak lagi memadai. Pasien inden yang mau dirawat terus bertambah. Tiap hari pasien keluar-masuk. Tempat tidur pun perlahan ditambah. Dari 210 lalu menjadi 410 tempat tidur.
Ketua Relawan Pendamping RSLI Radian Jadid mengatakan, lonjakan kasus di awal Juli melumpuhkan RSLI. Sebab, banyak para personel yang terpapar Covid-19. Ada sekitar 25 orang. “Termasuk saat itu Pj RSLI dr Nalendra dan lima dokter spesialis,” terang alumni Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya itu.
Penambahan kapasitas itu ternyata juga tak banyak membantu. Pasien yang mengantre juga semakin banyak. Bahkan pernah dalam sehari bisa mencapai ratusan orang. Tentu beban para tenaga kesehatan (nakes) dan relawan pendamping juga kian berat.
“Itu kami betul-betul sedikit waktu istirahatnya,” ujar Wakil Koordinator Perawat RSLI Oktavianus Kopong Miten. Kondisi berbanding terbalik dengan seminggu belakangan. Kasus Covid-19 melandai. Pasien RSLI pun turun. Apalagi empat hari belakangan. Rata-rata sekitar dua puluh saja.
Sejak dua hari lalu, RSLI sudah zero pasien. Yang terakhir dipulangkan pada Kamis (20/9). Lalu, apakah kegiatan para nakes dan relawan RSLI berhenti?
Okto—nama sapaan dari Oktavianus—menyatakan tidak. Meski tidak ada pasien, para nakes tetap punya kegiatan. Intensitasnya yang berkurang. Nol pasien memang membuat suasana RSLI lebih cerah. Tidak mencekam dan gegas ketimbang dua bulan lalu. Kecerahan itu memancar dari wajah seluruh personel di RSLI.
Jam 10 pagi kemarin juga begitu. Penjagaan pos satpam di gerbang tak ketat seperti biasanya. Kedua petugas keamanan berseragam biru itu meloloskan setiap tamu yang berkunjung. Tanpa pemeriksaan.
Di depan tempat parkir, berkumpul para perawat, Okto bersama para rekannya Mereka duduk persis di sebelah toilet portable . Namun, kali ini tidak sedang rapat membahas pasien. Melainkan bersenda gurau. Momen-momen seperti ini nyaris tidak pernah menjadi pemandangan di RSLI sebelumnya.
“Tadi baru selesai morning report . Kami santai sejenak, jarang-jarang bisa seperti ini. Habis ini langsung mau ngecek dan bersih-bersih kamar pasien,” ungkap Okto. Setengah jam kemudian, Okto mengajak wartawan Harian Disway untuk ikut rutinitas mereka. Kami diperkenankan memasuki ruang perawatan pasien Covid-19 di RSLI.
Meski sudah zero pasien, tetap saja diwajibkan memakai hazmat. Lengkap dengan masker dobel dan pelindung wajah. Sebab, tidak semua ruang rawat pasien itu sudah disterilkan.
“Ayo, Mas! Dipakai juga sepatu botnya,” kata Okto dengan aksen khasnya.
Kami diperkenankan masuk ke Tenda A. Memakai APD lengkap. Di Tenda A juga tak terlihat kesibukan yang serius. Beberapa saja yang sibuk mengoperasikan komputer. Lainnya, sudah santai. Saling guyon dengan rekan-rekan yang lain.
Lalu, Okto bergegas keluar dari Tenda A tempat para petugas itu. Dengan perasaan agak deg-degan kami berjalan membuntuti langkahnya yang panjang-panjang. Perlahan menuju gerbang hijau. Letaknya persis di samping kiri Tenda A.
Di hari-hari sebelumnya, saat masih banyak pasien, semua orang tidak boleh memasuki gerbang hijau itu. Tempat isolasi pasien Covid-19. Kecuali para nakes dan relawan pendamping. Semua orang hanya boleh menengok dari luar saja. Untuk menghindari risiko penularan.