Ada juga yang menyebut Mahbubani sengaja berbuat demikian supaya Indonesia tetap terpuruk di bawah Jokowi. Indonesia adalah potensi kekuatan besar di Asia Tenggara. Kalau Indonesia bangkit, Singapura pasti akan terlibas.
Hubungan bertetangga Singapura dengan Indonesia tidak selalu mesra. Ketika Habibie menjadi presiden pada 1999, Singapura ketakutan setengah mati. Habibie menyebut Singapura sebagai ”the little red dot” titik merah kecil yang sering bikin gatal. Singapura takut dan protes terhadap pernyataan itu. Indonesia yang demokratis dan maju secara teknologi di bawah kepemimpinan Habibie tentu sangat menakutkan bagi Singapura.
Kepemimpinan Indonesia yang otoritarian di bawah Soeharto lebih disukai Singapura. Bahkan, politik Singapura di bawah Lee Kuan Yew sangat mirip dengan model kepemimpinan politik Soeharto. Dua orang itu sama-sama berideologi ”developmentalism” atau pembangunanisme, yang lebih memprioritaskan pembangunan ekonomi dengan mengabaikan pembangunan demokrasi.
Dua pemimpin itu sama-sama berhasil menumbuhkan ekonomi, tapi dua-duanya juga berhasil mematikan kehidupan demokrasi. Soeharto tumbang karena gerakan reformasi yang kemudian memunculkan kepemimpinan yang demokratis. Singapura, sampai sekarang, masih tetap mempertahankan status quo, dan melanggengkan nepotisme politik dari Lee Kuan Yew ke anaknya, B.G. Lee, yang sekarang menjadi perdana menteri.
Indonesia dengan wajah Orde Baru tentu lebih aman bagi Singapura. Indonesia dengan wajah neo-Orde Baru seperti sekarang juga pasti lebih aman bagi Singapura.
Karena itu, pantas saja Singapura memakai Mahbubani untuk memuja-muji Jokowi sebagai presiden genius. Genius untuk siapa? Kayaknya, genius untuk Singapura. (*)