Tiga Kepentingan Tiongkok di Afghanistan

Senin 11-10-2021,04:00 WIB
Oleh: Yusuf M. Ridho

Ketiga, kepentingan politik. Walau Tiongkok berkomitmen tidak akan beraliansi dengan siapa pun, memperbanyak kawan yang antipati terhadap lawannya agaknya juga menjadi agenda yang coba dijalankan Tiongkok. Maklum, sebagaimana adagium lama, ”Musuhnya musuhku adalah temanku.”

Pada akhir Maret 2021, misalnya, Tiongkok meneken perjanjian kerja sama selama 25 tahun dengan Iran. Perjanjian komprehensif yang meliputi kerja sama politik, ekonomi, dan strategi itu ditandatangani di tengah sanksi yang dijatuhkan AS kepada kedua negara tersebut. Karena itu, kata analis geopolitik AS Andrew Korybko dalam wawancaranya dengan Tehran Times (5/4/2021), ”Tiongkok boleh dibilang adalah mitra terbaik yang pernah dimiliki Iran.”

Taliban Afghanistan (yang Sunni radikal) dan Iran (yang Syiah) memang lama bermusuhan. Terutama setelah pembunuhan diplomat Iran di Mazar-i-Sharif, kota di Afghanistan Utara, pada 1998 itu. Namun, kini, karena alasan pragmatis, keduanya akur kembali.

Bisa dibayangkan kalau setelah ini, Tiongkok yang oleh AS dicap sebagai ”rival strategis” itu membangun poros bersama Taliban Afghanistan yang anti-AS dan Iran yang juga anti-AS. Betapa akan makin serunya percaturan politik internasional ke depan.

Bila hal itu terjadi, mungkin Tiongkok hendak mengejawantahkan petuah filsuf besar Han Feizi (280–233 SM) ini: ”Kumpulkan yang lemah untuk menyerang yang kuat” (he zhong ruo yi gong yi qiang). (*)

 

*) Alumnus Huaqiao University dan Xiamen University, Tiongkok. Sekjen Forum Sinologi Indonesia.

Tags :
Kategori :

Terkait