Kontraproduktif Harmonisasi Peraturan Perpajakan

Rabu 13-10-2021,04:00 WIB
Editor : Yusuf M. Ridho

Harian Disway - UNDANG-UNDANG Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) sudah disetujui DPR. Terlepas dari banyak sisi positifnya, pemerintah harus hati-hati dalam menerapkan UU itu. Sebab, di sisi lain, UU tersebut bisa menjadi kontraproduktif bagi perekonomian nasional. Apalagi di tengah pemulihan pandemi Covid-19.

Seperti sejak awal RUU diajukan, tujuan UU HPP adalah mereformasi peraturan perpajakan dengan menata ulang sistem perpajakan dan mengakomodasi perkembangan perekonomian. Namun, tak bisa dimungkiri, salah satu tujuannya adalah meningkatkan perolehan pajak setelah pandemi.

Itu bisa dilihat dari harapan kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF), bahwa UU tersebut akan meningkatkan perolehan pajak dan tax ratio. Diharapkan, pada 2025 rasio pajak terhadap pendapatan domestik bruto (PDB) mencapai lebih dari 10 persen. Meningkat sekitar 2 persen jika dibandingkan dengan tax ratio tahun lalu (2020) yang hanya 8,3 persen.

Rendahnya tax ratio itu sebenarnya bukan semata karena pandemi. Sebelum terjangan Covid-19 pun, tax ratio kita  sudah sangat rendah. Bahkan, trennya terus menurun. Pada 2012, tax ratio kita masih 11,4 persen, dan terus menurun hingga hanya 10,4 persen pada 2016. Setelah itu, tax ratio sudah berada satu digit ke 9,9 persen, kecuali 2018 sempat naik ke 10,2 persen. Tahun 2019 turun lagi ke 9,8 persen dan menjadi 8,3 persen saat pandemi 2020.

Tax ratio Indonesia itu sudah terlalu rendah. Jika kita bandingkan dengan negara-negara Uni Eropa, sangat jauh. Denmark, misalnya, memiliki tax ratio hingga 46,3 persen. Prancis dan Belgia juga punya rasio pajak cukup tinggi, 45,5 persen dan 42,9 persen.

Dibandingkan dengan negara-negara ASEAN pun, rasio pajak kita juga terbilang rendah. Vietnam, Thailand, Filipina, Kamboja di atas 15 persen. Bahkan, Vietnam mencapai 18–19 persen. Hanya Myanmar yang rasio pajaknya lebih rendah daripada Indonesia.

Harus kita akui, rendahnya tax ratio itu sangat mengkhawatirkan. Sebab, di sisi lain, utang pemerintah justru kian besar. Bila dua tahun lalu rasio utang pemerintah masih di bawah 30 persen dari PDB, tahun ini akan mencapai sekitar 43 persen.

Dengan rasio pajak yang hanya 8 persen, utang pemerintah sudah setara dengan 5,6 tahun penerimaan pajak. Itu sangat berbahaya karena membebani anggaran kita di masa depan. Meski masih jauh di bawah threshold UU Keuangan Negara yang membatasi rasio utang terhadap PDB hingga 60 persen, kemampuan bayar pemerintah sudah sangat berkurang.

Pertanyaannya, apa sebenarnya penyebab tax ratio rendah? Karena tarif yang rendah, jenis pajak yang sedikit, atau tata kelola perpajakan yang buruk? Selama ini pemerintah lebih banyak  melakukan intensifikasi dengan menaikkan tarif dan ekstensifikasi dengan mencari sumber pajak baru.

Padahal, bisa jadi, penyebab rendahnya tax ratio adalah tata kelola perpajakan yang buruk. Pajak yang bocor, wajib pajak menghindari kewajiban pajak, atau penegakan aturan perpajakan yang lemah.

***

Ada hal yang pemerintah harus hati-hati menerapkan UU itu. Di antaranya adalah kenaikan PPN sebesar 2 persen menjadi 12 persen. Meski secara bertahap –11 persen mulai 1 April tahun depan dan 12 persen mulai 1 Januari 2025– kenaikan PPN itu jelas memantik kenaikan harga barang-barang konsumsi. Itu bisa berbahaya, ketika pendapatan masyarakat belum pulih akibat pandemi.

Hal tersebut tentu bisa mengakibatkan menurunnya konsumsi masyarakat. Padahal, dari sisi permintaan, konsumsi berkontribusi hingga 57,6 persen terhadap PDB. Jauh lebih tinggi daripada pembentukan modal tetap bruto (PMTB) atau investasi yang hanya 31,6 persen. Karena itu, menurunnya konsumsi bisa berdampak serius terhadap pertumbuhan ekonomi tahun depan.

Dengan fakta seperti itu, kebijakan yang diperlukan dalam masa-masa pemulihan akibat pandemi semestinya justru sesuatu yang menstimulasi konsumsi rumah tangga. Perlu adanya insentif untuk meningkatkan pendapatan masyarakat. Tentunya kenaikan PPN bukan sesuatu yang bisa menjadi trigger bagi upaya meningkatkan pendapatan masyarakat.

Memang, konsumsi masih bisa terjaga dengan berbagai program jaring pengaman sosial. Bantuan langsung kepada masyarakat berpendapatan rendah, usaha mikro-kecil, karyawan dengan pendapatan kecil, dan sebagainya.

Tags :
Kategori :

Terkait