Dia sampai membuat dua versi. Yang pertama dengan lirik, yang satu lagi instrumental saja. ’’Idenya datang gara-gara aku sering lihat wanita-wanita hebat di sekitarku,’’ ungkap Ista. ’’Mamaku, adikku, teman-temanku, ibu rumah tangga yang harus kerja juga. Ada juga temanku yang punya anak dua, masih bisa sekolah lagi,’’ rinci dia.
Perempuan-Perempuan memiliki aransemen musik dengan genre yang diklaim Ista sebagai jazz-pop. Namun, sebetulnya lagu itu kental dengan genre Klasik. Tak hanya memberikan makna pada lirik, komposisi piano yang dihadirkan juga memiliki esensi sebagai sebuah komposisi piano vintage. Ada dinamika tempo dan pola chord piano yang dimasukan ke aransemen.
Di tengah asyik menceritakan karya, Ista tiba-tiba curhat. Bahwa dia sangat merindukan tampil di depan audiens secara langsung. Dulu, dia rutin jamming hampir setiap bulan. Hingga kemudian pandemi menyerang. Sehingga semua pertemuan langsung ditiadakan. Termasuk kegiatan di gereja, di mana dia biasa jadi pemain piano saat ibadah.
Passion Sejak Kecil
Ista menceritakan, dia sudah aktif bermusik sejak berusia lima tahun. Dia diikutkan les musik klasik oleh orang tuanya. Lagu instrumental piano pertama yang kali pertama dia mainkan secara penuh adalah Fur Elise milik Beethoven.
Bakat bermusik kemudian diasah secara konsisten. Dia sering berkolaborasi dengan sejumlah musisi dari Malang, Surabaya, dan Jakarta. Genrenya pun mulai melebar. Lagunya memang punya kecenderungan pop dan jazz. Namun tetap membawa unsur klasik. Bernyanyi sambil memainkan piano menjadi andalannya untuk membius penonton.
Ada beberapa musisi yang menjadi inspirasi dia. Mulai dari Ray Charles, Regina Spektor, Janis Joplin, sampai Jaya Suprana. Dia juga mengidolakan Leilani Hermiasih, atau yang dikenal sebagai Frau. Kemampuan Frau bermain piano dan membuat lirik puitis menjadi alasannya.
Ista boleh jadi merupakan sosok yang dikenal di kancah musik indie. Nama dia sering muncul di berbagai ajang musik berskala lokal maupun nasional. Kendati demikian, dirinya tetap suka mengajar. Itulah yang mendorongnya menekuni profesinya sebagai pengajar di Fakultas Industri Kreatif Universitas Surabaya (Ubaya). Serta menjadi mentor di Sekolah Musik Indonesia.
’’Kalau ditanya lebih suka yang mana, rasanya saya akan tetap menjalani dua profesi ini. Saya menyukai semua,’’ tutur Ista. ’’Jadi enjoy aja melakoninya. Enggak, lebih tepatnya karena saya emang dari dulu tidak bisa diem,’’ tutup Ista, lantas tertawa. (Retna Christa-Ajib Syahrian)