Bupati Pamekasan Ra Baddrut Tamam dididik dalam tradisi pondok pesantren (popes) yang kuat. Ayahnya, almarhum KH Malidji, adalah pengasuh Pesantren Banyu Anyar. Pesantren tertua di Pamekasan (1788 Masehi).
“PERTAMA nyantri di rumah sendiri,” kata Baddrut saat ditemui di Pendopo Pamekasan, Rabu (21/10). Sambil mondok, Baddrut juga sekolah di SD Negeri Tlesah. Ia ikut kelas akselerasi tanpa disengaja karena selalu ikut kakaknya sekolah. Karena kemampuannya mumpuni, ia bisa lulus lebih awal.
Di usia yang masih belia, Baddrut sudah jadi anak yatim. Sang ayah meninggal saat Baddrut lulus SD. Pengasuh Ponpes Mambaul Ulum Bata-Bata, Pamekasan, lalu meminta agar Baddrut dipindahkan ke Bata-Bata.
Setelah tiga setengah tahun nyantri di kota sendiri, Baddrut akhirnya memutuskan mondok ke Pesantren Al Hidayah di Lasem, Rembang, Jawa Tengah, yang diasuh KH Zaim Syakir Ma’sum.
Baginya, inilah miniatur Indonesia. Di kabupaten dengan sebutan Tiongkok kecil itu hidup masyarakat dengan berbagai macam etnis dan agama. Bahkan ada ponpes yang berdiri di tengah-tengah lingkungan Tionghoa. Tetangga muslimnya cuma empat orang.
Di tempat itulah Baddrut menempa diri. Ia gemar berpuasa. Merasakan lapar dengan berzikir. Relaksasi hati. “Pernah buka puasa tidak punya duit. Satu minggu cuma minum teh panas dan gorengan,” kata pria kelahiran 2 Desember 1978 itu.
Kiriman uang dari Pamekasan tidak selalu lancar. Kalau sudah paceklik duit begitu, Baddrut tidak bisa mengeluh ke siapa pun. Jauh dari rumah. Telepon tidak ada.
Anehnya, ia tidak merasa menderita. Hidup dengan kesederhanaan sudah mendarah daging. Santri tidak boleh cengeng. “Tubuh tergantung kebiasaan kita. Kalau biasa makan kenyang, sekali lapar pasti menderita. Kalau biasa lapar, ya biasa saja,” ujar Badrut sambil menyeruput secangkir kopinya.
Ia juga dibiasakan bangun di tengah malam untuk salat tahajud sejak kecil. Rata-rata cuma tidur empat jam sehari. Kebiasaan itu rupanya terbawa sampai jadi Bupati. Kata, petugas jaga di gerbang pendopo, Pak Bupati bisa menerima tamu sampai menjelang subuh.
Di Lasem setiap libur Maulid dan Ramadan, Baddrut tidak pulang. Ia berkelana ke beberapa pesantren. Di Lirboyo, Ploso, hingga Kwagean.
Ada program pesantren kilat di sana. Di tempat itu Baddrut tidak hanya Ngaji Sorogan dengan sistem pembelajaran kitab secara individual. Yakni setiap santri menghadap secara bergiliran kepada kiai untuk membaca, menjelaskan atau menghafal pelajaran yang diberikan sebelumnya.
Ia sangat tertarik ngaji Ihya Ulumuddin. Mengaji ihya mengajarkan kita tidak gembelengan atau sembrana. “Jadi ngaji hati. Makanya waktu kuliah saya ingin sekali ambil psikologi,” ujar mantan Anggota DPRD Jatim itu.
SILATURAHMI Dirut Harian Disway Tomy C. Gutomo (kiri) kepada Bupati Pamekasan Baddrut Tamam di Pendopo Kabupaten Pamekasan.(Foto: EKO SUSWANTORO-HARIAN DISWAY)
Selepas nyantri di Rembang ia ingin ke Yogyakarta. Ambil Jurusan Psikologi di Universitas Gadjah Mada. Ternyata tidak diterima. “Malah masuk IKIP jurusan teknik. Tidak saya ambil. Saya mau psikologi,” lanjut Baddrut.
Baddrut akhirnya mencari informasi kampus yang punya jurusan psikologi. Ia mencari informasi itu dari brosur. Internet belum populer. Baddrut menelepon satu per satu kampus dari wartel.
Ternyata Universitas Muhammadiyah Malang ada jurusan itu. Ia langsung kembali ke Jatim untuk mengikuti kata hatinya: kuliah psikologi.