Perjuangan Melawan Stigma Negatif

Selasa 26-10-2021,17:58 WIB
Editor : Doan Widhiandono

Ketika di masjid umum, banyak perlakuan yang tidak mengenakkan dihadapi oleh para santri waria. Orang-orang tidak mau bersalaman dengan mereka. Berdekatan pun ogah. Langsung pergi.

KETIKA beribadah di keramaian, waria seringkali tetap menggunakan sarung. Namun, gaya tubuhnya tidak bisa berbohong. Klemer-klemer. Orang dapat menilai bahwa ia bukan lelaki tulen. Berbeda jika di Al-Fatah. Santri waria dibebaskan dalam hal  pakaian beribadah. Senyaman mereka. Menurut Shinta Ratri, yang penting menutup aurat, bersih, dan khusyuk ketika berhadapan dengan Tuhan.

Waria begitu peka dengan bahasa tubuh yang menolak dan pandangan menghina yang ditunjukkan banyak orang. Sebagai manusia, wajar perasaan mereka terluka.

“Karena opini-opini yang salah, waria kemudian yang pertama kali terkena dampak. Sebab, kami paling tampak. Kalau orang mencari lesbian, gay, atau bisexual, mereka tidak langsung tampak di tengah masyarakat,” kata Shinta. 

  Kejadian-kejadian seperti itu membuat para waria lebih nyaman salat di rumah. Sebab, tidak akan ada yang mengejek atau menolak mereka. “Di luar sana, masih banyak yang menganggap waria tidak patut untuk beribadah karena dianggap pendosa,” katanya.

Ada juga yang menuding para waria di pesantren mau membuat hukum sendiri dan “aliran” baru. Padahal, mereka mengucapkan doa dan membaca Alquran yang sama. Mereka juga belajar dari para pembimbing yang kompeten. Kawan-kawan dari Nahdlatul Ulama (NU), ustaz dan ustazah mendukung kegiatan beribadah di pondok pesantren.

Puncaknya pada Februari 2016. 

Front Jihad Islam (FJI)  menggeruduk AL-Fatah untuk membubarkan pondok pesantren itu. Menurut mereka, para waria tidak layak beribadah sebelum bertobat menjadi laki-laki. Kejadian itu membawa trauma tersendiri bagi Al-Fatah. Kegiatan pondok pesantren pun berhenti.

Para ratu waria berdiri di garda terdepan untuk menyelesaikan kericuhan itu ini, sedangkan santri waria lainnya mengungsi ke LBH. Ratu waria adalah sebutan bagi mereka yang dianggap senior, berkarisma, memiliki pengetahuan, dan mandiri secara ekonomi. Mereka adalah Yunisara (YS), Rully Malay, dan Shinta sendiri. 

Ratu-ratu waria, para ustaz, dan LBH mewakili Al-Fatah yang ’’diadili’’ di kelurahan. Menurut Shinta, jajaran di kelurahan awalnya mengatakan pertemuan itu untuk melakukan negosiasi. Nyatanya, mulut para waria dibungkam. Tidak diperbolehkan berbicara apa-apa.  Kejadian itu menjadi momen yang buruk bagi para waria. Ini menjadi salah satu bukti ketidakadilan yang dialami kaum marjinal. 

Dengan mengundang para wartawan, LBH, dan para ustaz, konferensi pers dilaksanakan untuk meluruskan berita yang simpang siur tentang Al-Fatah. 

Pada Juni 2016, tepat bulan puasa, Al-Fatah kembali bangkit. “Kami berkegiatan lagi, itu sudah cukup bagi kami. Intinya kan kami ini memperjuangkan hak beribadah dan belajar agama Islam untuk waria-waria muslim di Yogyakarta,” curhat Shinta.

Di masa rehat Al-Fatah juga sudah mencoba lapor ke polisi. Tapi, tidak digubris. FJI tidak diselidiki lebih lanjut hingga saat ini. 

Kejadian itu menjadi titik balik bagi Al-Fatah. Mereka mendirikan program-program baru seperti family support group , waria crisis centre , dan kunjungan kyai-kyai di seluruh Jawa. Menurut Shinta, penguatan seperti itu didapatkan dari orang di sekitar mereka. Hikmahnya, orang pun jadi tahu eksistensi para waria.

“Maka, kita menganggap di sini (Al-Fatah) sebagai ruang demokrasi. Merebut demokrasi yang dahulu pernah direbut,” ucap Shinta.

KELAS IQRA yang diikuti para waria di Pondok Pesantren Al-Fatah.

Tags :
Kategori :

Terkait