Sebelum diempas pandemi, mereka juga mengadakan program Life on Culture Javanese Trans Women. Mereka mengundang para turis asing yang menetap di Yogyakarta untuk bertamasya. Mereka berkeliling memperlihatkan situs kekerasan. Yakni ketika Al-Fatah didatangi FJI. Juga situs perdamaian, yaitu di rumah kiai yang terletak di balai desa.
Para santri waria juga mengajak turis untuk ikut membatik dan makan malam bersama. Para waria menampilkan tari-tarian untuk menghibur mereka. Sayangnya, program itu terhenti karena pandemi.
Hingga kini, kegiatan rutin untuk meningkatkan derajat dan kemampuan para waria terus berlangsung. Baik dari segi keagamaan maupun kreativitas. Setiap Minggu, pesantren mengadakan berbagai kegiatan keagamaan, seperti kelas iqra dan hafalan surat pendek. Biasanya, kegiatan dimulai menjelang sore hari.
Para santri waria begitu antusias untuk belajar. Ustaz dan Ustazah yang membimbing pun begitu sabar dan telaten. Santri waria beberapa kali melontarkan guyonan di tengah kelas. Suasana kelas semakin hidup.
Mereka juga rutin mengadakan kegiatan di luar keagamaan untuk meningkatkan keterampilan mereka. Biasanya, bekerja sama dengan komunitas, relawan, atau mahasiswa. Seperti membatik, berkebun, membuat lilin aromatik, dan membuat wayang dari limbah plastik.
Mental health service menjadi acara yang ditunggu-tunggu setiap hari Rabu. Mereka bekerja sama dengan fakultas psikologi dari berbagai universitas di Indonesia. Di sesi ini, mereka diajarkan untuk lebih mengenal dan menerima sendiri.
Shinta juga sangat terbuka bagi para mahasiswa yang mau melakukan penelitian untuk penulisan akhir. Tak heran jika Al-Fatah selalu dikerumuni para tamu. Sebab, Al-Fatah sangat terbuka dan menyambut masyarakat luar dengan hangat.
Di Yogyakarta, juga ada komunitas-komunitas waria lainnya. Seperti Ikatan Waria Yogyakarta, Kebaya, Waria Crisis Centre. Mereka pun memiliki peran yang berbeda masing-masing. Namun, tujuannya sama. Untuk kesejahteraan para waria. (Jessica Ester)