PANDEMI Covid-19 memaksa pemerintah memberlakukan pembatasan kegiatan masyarakat. Akibatnya, berbagai sektor aktivitas pun lumpuh. Tidak hanya kesehatan dan pendidikan, tetapi juga ekonomi. Begitu juga yang terjadi di Jawa Timur.
Pertumbuhan ekonomi Jatim sebelum pandemi selalu konsisten di atas nasional. Lalu anjlok pada awal pandemi 2020. Di triwulan II tahun itu mengalami kontraksi sebesar 6 persen. Angka itu lebih besar dari nasional. Sebabnya, beberapa kabupaten/kota yang menjadi pendongkrak ekonomi mengalami kelumpuhan.
“Sebelum pandemi, perekonomian di beberapa kabupaten/kota itu tumbuh pesat. Pandemi mengakibatkan perekonomian mereka merosot dengan cepat. Akhirnya pertumbuhan ekonomi Jatim juga anjlok,” terang Awalin Ilmiawan, anggota tim peneliti Lembaga Ilmu Sosial Humaniora dan Bisnis (LISHB) pada acara Seminar Jatim Bangkit Menuju Generasi Emas Indonesia 2045, di Hotel Bumi, Surabaya, kemarin (28/10).
Menurutnya, pembatasan kegiatan masyarakat mengakibatkan Produk Domestik Bruto (PDB) turun. Sebab, sektor akomodasi, transportasi, dan hotel turun hingga menjadi 30 persen. Padahal, sektor tersebut menjadi tumpuan pertumbuhan ekonomi Jatim.
“Termasuk sektor perdagangan UMKM. Karena UMKM itu juga tergantung pada sektor pariwisata,” jelasnya. Namun, pariwisata dan UMKM sempat bergeliat lagi saat kebijakan PSBB dihentikan sebelum serangan varian Delta. Pada triwulan II 2021, pertumbuhan ekonomi Jatim cukup tinggi meski di bawah nasional. Yakni sebesar 7,05 persen.
Anggota tim peneliti LISHB lainnya Dr Sri Endah Nurhidayati memperjelas bahwa pariwisata menjadi kunci pertumbuhan ekonomi di Jawa Timur. Banyak sektor ekonomi yang terlibat di dalamnya. Sehingga, apabila dibekukan maka akan berdampak buruk.
“Selama pandemi ini, wisata-wisata memang ada yang bertahan. Ada tapi sedikit. Lebih banyak yang lumpuh,” jelasnyi.
Menurutnyi, pergerakan ekonomi Jatim hanya berkutat pada penyerapan tenaga kerja dan penambahan pendapatan. Seharusnya, pariwisata bisa dijadikan ujung tombak. Mengingat potensi wisata Jatim begitu besar. Terutama wisata alamnya.
Terutama kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS). Digadang-gadang oleh pemerintah sebagai salah satu objek wisata terbaik nasional. Namun, kenyataannya masih banyak masyarakat Tengger tidak menjadikan pariwisata sebagai sumber pendapatan utama. Hanya sebagai pekerjaan sampingan. “Karena mereka masih banyak yang konsen ke pertanian,” jelasnyi.
Padahal, pertanian belum tentu bisa diandalkan dalam jangka panjang. Kesuburan tanah bakal terus menurun. Tanah juga bakal dibagikan ke anak cucu sebagai warisan. Artinya, kepemilikan tanah mereka juga bakal terus berkurang.
Sehingga, sudah saatnya masyarakat melirik pariwisata saat ini. Menjadikannya sebagai pekerjaan utama. Sebab, pembangunan pariwisata juga tidak bisa instan. “Jadi melihatnya harus 10-15 tahun ke depan. Sebelum terlambat. Kalau pariwisata dikuasai orang luar nanti nasib komunitas masyarakat setempat bagaimana?” ungkap Endah.
Direktur Manajemen Strategis Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Wawan Rusiawan mengatakan, kawasan TNBTS disorot dan diprioritaskan. Saat ini, masih disusun masterplan untuk mengintegrasikan semua objek wisata di sana.
“Alam memang jadi salah satu ikon pariwisata di Jatim. Semoga penyusunan masterplan ini bisa segera selesai,” jelas Wawan melalui layar.
Menurutnya, desa-desa wisata di sekitar kawasan TNBTS memberi dampak luar biasa bagi perekonomian. Sehingga, format pengolahannya harus lebih ditingkatkan lagi. Atau bahkan bisa diinovasikan dengan pentas seni dan budaya. “Jadi kita harus kemas untuk jadi sebuah acara yang mendunia dengan tetap menjaga kearifan lokal,” jelasnya. (Mohamad Nur Khotib)