Jurusan Bahasa di jenjang SMA perlahan menghilang. Di Surabaya, hanya SMAN 7 dan 21 yang masih mempertahankannya. Sementara itu di universitas, jurusan bahasa justru menjamur.
GURU Besar Sastra Indonesia Universitas Negeri Malang Profesor Djoko Saryono melihat ada dua kemungkinan yang terjadi. Pertama, peminat jurusan bahasa di jenjang SMA memang turun. Kedua, pemerintah mengobral perizinan berdirinya lembaga pendidikan baru. “Ibarat dulu ada kue 100 dimakan empat orang. Sekarang yang makan 70 orang,” katanya Kamis (28/10).
Ia melihat kebijakan pemerintah untuk memperbanyak SMK berimbas pada penurunan minat jurusan bahasa. Apalagi target pemerintah adalah 70 persen SMK dan 30 persen SMA.
Izin sekolah baru juga diobral. Sekolah swasta juga menjamur. Sebaran siswa dengan minat ke jurusan bahasa jadi terpecah. Jika siswa yang mengambil jurusan bahasa kurang dari 20, maka sekolah tidak bisa membuka jurusan itu. Pilihannya jadi menyempit ke IPA dan IPS. “Jadi ini peminatnya yang turun atau lembaganya yang semakin banyak?” lanjut pria kelahiran Madiun, 27 Maret 1962 itu.
Lembaga pendidikan tinggi juga mengalami kenaikan drastis dalam dua dekade terakhir. Pada 1999 jumlah perguruan tinggi mencapai 1.633. Tahun ini jumlahnya sudah mencapai 4.593 kampus. Meningkat hampir tiga kali lipat.
Menurutnya fakultas humaniora dan sosial paling cepat bertambah. Persyaratannya dan ongkos pembangunannya paling mudah dan murah. Imbasnya, ada semakin banyak kampus yang memiliki jurusan bahasa. “Istilah dangdutnya: los dol untuk prodi bahasa,” kata Kepala UPT Perpustakaan UM itu.
Jika peminat jurusan bahasa dulu harus kuliah di Malang, Surabaya, atau Jogjakarta, kini mereka sudah bisa kuliah di kota masing-masing. Bahkan Prof Djoko bergurau: kampus sudah menjamur hingga ke tingkat kecamatan. Bukan lagi di level kabupaten atau kota.
Ia menilai animo terhadap jurusan bahasa di tingkat universitas tetap tinggi. Namun jumlah peminat di masing-masing kampus cenderung menurun karena jumlah pesaing bertambah.
Sebaran jurusan bahasa juga terjadi meski sudah ada segregasi antara Kemenristekdikti dan Kementerian Agama. Tetap ada jurusan Tadris Bahasa Inggris (TBI) di IAIN Purwokerto misalnya. Sementara di Universitas Negeri Surabaya dan Universitas Airlangga terdapat jurusan Sastra Inggris.
Ia menyebut perbedaan istilah itu hanya permainan slogan. Kelicinan terminologi. “Bahasa Jawanya lamis atau dalih. Tadris atau sastra sama saja,” katanya.
Ada permainan linguistik untuk penyelamatan muka, harga diri dan penghindaran konflik . “Tapi ya sudahlah,” lanjutnya.
Yang jelas, ia merasakan terjadi persaingan yang begitu keras antar kampus. Beberapa kampus mulai kesulitan dapat mahasiswa karena pesaing bertambah.
Menurutnya, pemerintah sebagai regulator harus berperan sebagai wasit. Jika obral perizinan tidak dievaluasi, problem ini bisa memperparah keadaan. “Wasit memang harus tegas. Tidak bisa di los dol begini,” ucap alumnus IKIP Malang itu.
Jika wasit tidak fair , maka fakultas humaniora atau prodi bahasa bisa berjatuhan suatu saat nanti. Apalagi, menurutnya zaman sudah didesain untuk berkhidmat kepada sains dan teknologi. Selain dua bidang itu harus minggir dan menyesuaikan diri.
Menurutnya itu tidak alamiah. Tapi, sudah didesain. Inilah politik ilmu pengetahuan. Kebijakannya menguntungkan fakultas humaniora. Sampai muncul plesetan tentang humaniora dalam Bahasa Jawa. “ Uman ae ora (Kebagian saja tidak),” ujar Djoko lalu meringis.