Harian Disway - ACARA tahunan Konvensi Kerangka Kerja Perubahan Iklim (UNFCCC) akan segera diadakan setelah penundaan selama 12 bulan. Ini adalah tahun yang penting bagi Indonesia, tahun saat seluruh negeri patut ikut berbangga. Laju deforestasi Indonesia meraih rekor angka terendah.
Perubahan tata guna lahan sudah lama menjadi sumber utama emisi gas rumah kaca (GRK) bagi Indonesia. Dibutuhkan keberanian dalam kepemimpinan di bawah dua kepresidenan untuk mengubah hal itu.
Upaya yang ditempuh Indonesia untuk mengurangi emisi GRK tidak selalu mudah, tetapi terbukti telah berhasil. Pemerintah telah memenuhi komitmennya untuk menghentikan deforestasi di kawasan hutan primer dan lahan gambut, dan menghentikan perizinan baru untuk kelapa sawit –komoditas pertanian terbesar di Indonesia. Penting juga untuk diketahui bahwa pemangku kepentingan di sektor kelapa sawit telah bekerja sama selama berjalannya proses.
Dari sisi ekonomi, ada harga yang ditanggung dari upaya menghentikan deforestasi, yaitu biaya peluang (opportunity cost) dengan tidak membuka lahan hutan menjadi lahan pertanian bagi petani dan masyarakat. Biaya peluang dari komitmen deforestasi tersebut telah diakui dan dipahami saat Indonesia kali pertama membuat komitmen satu dekade yang lalu.
Pada saat itu, negara-negara maju sepakat atas program pembiayaan iklim (climate financing) untuk negara-negara berkembang sebesar USD 100 miliar per tahun hingga 2020, sebagai biaya ganti rugi atas pengorbanan yang dilakukan negara-negara berkembang seperti Indonesia. Namun, target pembiayaan tersebut tidak dipenuhi, dan hanya mencapai USD 80 miliar pada 2019.
Pemerintah Indonesia juga menandatangani perjanjian inovatif yang banyak dinanti dengan negara Norwegia. Yakni, Indonesia akan menerima kompensasi dalam upaya mengurangi laju deforestasi.
Indonesia telah memenuhi janji tersebut. Namun, penundaan pembayaran oleh pemerintah Norwegia atas keberhasilan Indonesia dalam memenuhi komitmen deforestasi mendorong pemerintah Indonesia untuk mengakhiri kesepakatan dengan Norwegia.
Contoh-contoh di atas menjadi perhatian Indonesia dan negara-negara lainnya menjelang acara Conference of the Parties (COP) 26: tidak terpenuhinya janji-janji yang telah disepakati dalam negosiasi iklim serta kebijakan lingkungan dalam beberapa dekade terakhir.
Contoh lain adalah kebijakan Uni Eropa Renewable Energy Directive (RED). Saat Uni Eropa kali pertama memperkenalkan skema untuk mempromosikan bahan bakar terbarukan bersumber dari tanaman. Uni Eropa juga menyepakati negara-negara berkembang diperbolehkan mengekspor energi terbarukan biofuels masuk ke pasar Uni Eropa.
Hal itu menghasilkan dua dampak positif. Pertama, kesepakatan tersebut mendorong pemerintah Indonesia untuk berinvestasi di teknologi terbarukan untuk ekspor. Yang kedua adalah memberikan dukungan kepada Uni Eropa untuk mendorong kebijakan positif terkait iklim.
Namun, tidak lama setelah itu, Uni Eropa mengeluarkan dua kebijakan yang merugikan Indonesia. Uni Eropa mengenakan bea masuk antidumping ilegal untuk mencegah ekspor energi terbarukan dari Indonesia, yang kemudian diikuti dengan larangan terhadap kelapa sawit untuk masuk target energi terbarukan Uni Eropa.
Selain itu, Uni Eropa mulai mendanai program-program yang bertujuan tidak mendukung kelapa sawit sebagai sumber energi terbarukan. Dengan kata lain, banyak kejadian dalam dekade terakhir yang menunjukkan janji-janji yang telah disepakati kemudian ditarik dan tidak dipenuhi.
Dengan demikian, tidak mengherankan jika Indonesia dan negara-negara lainnya mempertanyakan pendekatan negara-negara Barat menjelang acara COP tahun ini.
Indonesia memiliki komitmen kuat untuk mengeluarkan kebijakan iklim dengan target emisi nol (net zero emission) pada 2050, kebijakan yang sedang ditempuh Indonesia. Negara-negara maju pun menuntut Indonesia agar melestarikan hutan dan memperbaiki praktik pertanian dalam upaya mengurangi emisi.
Akan tetapi, negara-negara maju tidak mempertimbangkan kompensasi kepada pemilik tanah, investasi pada petani atau meliberalisasi pasar pertanian untuk memfasilitasi transisi tersebut. Justru sebaliknya, sebagian dari negara maju tersebut mengenakan hambatan perdagangan dan mengeluarkan kebijakan yang dengan sengaja menambah beban biaya pada petani kecil.