Oleh:
Maghfirotul Laily
Anggota Komunitas Malang Walk Heritage
Menyusuri kawasan Lawang, Malang, sangat mengasyikkan. Wisata sejarah, menikmati bangunan kuno, dari Budi Mulia hingga Hotel Niagara yang jauh dari kesan angker. Apalagi ditemani kawan-kawan dari komunitas Malang Walk Heritage.
HAWA sejuk pegunungan masih terasa di Lawang. Permukiman padat penduduk berjajar. Penjual buah-buahan di trotoar dan beberapa stand di pinggir jalan menghias keragaman. Puluhan butir apel digantung dalam keranjang berjaring. Bergoyang-goyang tertiup angin.
Lawang dikenal sebagai pintu masuk Kota Malang. Letaknya dekat dengan Singosari, kawasan bekas kerajaan leluhur Raja Majapahit. Maka Lawang menyimpan berbagai kisah sejarah. Sejak era Hindu-Buddha, kolonial Belanda hingga Jepang, sampai Indonesia merdeka. Gereja, hotel, tempat tinggal dan bangunan-bangunan lawas lain menjadi buktinya.
Hal itulah yang membuat Syaiful Akbar dari komunitas Malang Walk Heritage menggagas acara penelusuran kawasan Lawang. Sebagai pecinta sejarah, aku sangat antusias. Pekan lalu (25/10), aku berangkat dari Gadang, di pusat kota Malang, menuju Lawang. Perjalanan memakan waktu sekitar 30 menit. Kami berkumpul di Kedai Tanjung, Jalan Argopuro.
Tiga belas orang anggota Malang Walk Heritage sudah tiba lebih dulu. Sekitar pukul sepuluh siang kami berangkat bersama-sama dengan membawa mobil.
Perhentian pertama adalah SMP Katolik Budi Mulia. Sekolah itu eksis sejak era kolonial. Letaknya di Jalan Argomoyo. Kami masuk dan mengamati bagian dalam sekolah yang berarsitektur klasik. Rasanya seperti terbang ke masa lalu. Mudah membayangkan anak-anak Belanda belajar di bangku-bangkunya. Serta berlarian riang di lorong-lorongnya.
Kami ngobrol dengan para pengelola sekolah. Di Budi Mulia, siswa dipersiapkan untuk menjadi imam Katolik. Mereka menceritakan metode mengajar, ibadah, dan agenda-agenda kegiatan sekolah.
Kami meneruskan perjalanan ke SMK Kargosono. Itu merupakan bekas sekolah Tionghoa. Bangunannya telah direnovasi. Catnya diperbaharui. Sayang, kami tak sempat masuk. Karena hujan turun dengan derasnya. Kami bergegas masuk mobil dan tancap gas.
Dalam perjalanan, kami melewati pasar dan menemukan sebuah bangunan kuno. Kondisinya masih bagus. Namun bagian depannya tertutup tembok tebal. Terdapat bedeng-bedeng dari kayu yang dipakai untuk menumpuk karung-karung dagangan warga sekitar. Aku sempat memotret bagian depan dan sampingnya. Sayang, tak banyak informasi yang bisa kami dapat mengenai sejarah bangunan tersebut. Dilihat dari arsitekturnya, kemungkinan milik warga kolonial elite di masa lalu.